5. Lara dan Dunianya

94 23 1
                                    

⠀⠀"Laraaa, Beb!" Terdengar panggilan yang sangat familiar. Lara menoleh, menemukan Mama berdiri di pinggir rink, melambaikan guards—pelindung untuk pisau pada sepatu skating yang digunakan saat berjalan tidak di atas es.

⠀⠀Lara memberi kode 'ok' dengan tangan. Tanggung, mumpung sudut ini sedang kosong, dia membalikkan tubuh, meluncur mundur sejenak, dan melompat. Dalam hitungan detik, Lara sudah mendaratkan lompatan lutz yang sempurna.

⠀⠀Dia sudah meluncur di atas es sejak umurnya lima tahun. Berawal dari kebiasaan Mama membawa anak-anaknya mencoba berbagai kelas satu hari di akhir Minggu, mulai dari memasak, balet, biola, sampai berkuda. Setelah kelas selesai, Mama akan bertanya apakah Lara dan Sena menyukainya, apakah mereka ingin melakukannya lagi minggu depan. Biasanya, kalaupun mereka sangat suka kelas itu, hanya bertahan dua atau tiga minggu. Tapi suatu hari, Mama mengajak mereka—dan Papa—pergi ice skating bersama-sama, dan tiba-tiba saja, Lara ketagihan. Dia minta kembali minggu depan, minggu depan, dan minggu depannya lagi.

⠀⠀"Laraaaa! Hei!" seruan Mama terdengar lagi. Lara menghela nafas. Dia tahu ini sudah overtime. Masalahnya, dia tidak ingin meninggalkan rink.

⠀⠀Dulu, waktu SMP dan SMA, Lara menghabiskan banyak waktunya di rink ini. Apalagi saat ada kompetisi, hampir setiap hari dia berlatih. Skipping, workout, spinning dengan dibantu alat spinner sampai muntah-muntah. Tapi, karena figure skating mulai mengganggu sekolahnya—apalagi kalau ada kejuaraan di luar negeri tepat saat musim ulangan—Papa meminta Lara untuk fokus belajar saat dia sudah masuk kuliah nanti. Lara berusaha menawar—dia baru akan berhenti setelah memenangkan setidaknya satu world championship. Papa akhirnya mengalah, satu world championship dan setelah itu, Lara hanya boleh latihan di waktu weekend, dengan catatan tidak mengganggu kuliah. Lara tentu saja girang—dia pikir, masih butuh beberapa tahun untuk dia masuk kejuaraan tingkat dunia, apalagi untuk menangnya. Pasti jauh lebih lama.

⠀⠀Mungkin memang kualat pada Papa atau efek doa orang tua yang terlalu manjur, seminggu kemudian coach meminta Lara ikut tes kualifikasi untuk sebuah kejuaraan Internasional, saat biasanya Lara hanya berkompetisi regional. Tiba-tiba saja, bulan demi bulan sudah habis untuk persiapan gila-gilaan, terbang selama berjam-jam di pesawat, dan Lara pulang dengan sebuah medali emas. Sampai sekarang, Lara masih tidak percaya setiap melihat medali itu, yang sengaja dipajang di ruang tamu oleh Papa untuk dipamerkan pada setiap tamu yang datang. Namanya juga Park Chanyeol. Anaknya bernapas pun dia bangga-banggakan.

⠀⠀Figure skating adalah tempat Lara untuk mengekspresikan dua hal yang juga dia sukai—olahraga dan menari. Lara adalah teman setia Papa di gym, berbanding terbalik dengan Abang yang lebih memilih ikut Mama jajan bubur ayam kalau keluarga mereka sedang jogging di Senayan. Dan menari… awalnya dari kelas sehari juga. Tarian tradisional, Bali dan Jawa. Mama selalu bilang, Lara punya gerakan luwes dan tubuh lentur, khas penari tradisional. Yang ia syukuri sekarang, karena kemampuannya menari Bali itu berhasil ia gabungkan ke dalam koreografi. Mungkin itu juga yang membawa Lara kepada gold medal…

⠀⠀"LARASATI PAAARK!!! Jangan pura-pura budeg!!! Budeg beneran baru tau rasa!"

⠀⠀Lara meringis, akhirnya menghampiri sang Mama yang menoyor kepalanya dengan guards.

⠀⠀"Heran ye, udeh diteriakin emaknye berkali-kali masiiiiih aje!" omel Mama, sementara Lara cengengesan, memasang guards ke blades dan beranjak dari rink.

⠀⠀"Mam, tolongin soaker-nya dong," ujar Lara, duduk di salah satu kursi dan mulai melepas skate. Juga berbagai benda lain yang selalu ia gunakan saat latihan—bunga pad yang melindungi ankle, sarung tangan, hal-hal seperti itu.

XOXO, Lara ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang