2. Sekarang Sudah Pro

10.1K 1.2K 56
                                    

Kami terjebak macet. Sungguh epik! Harusnya nggak kuturuti permintaan Mas Dharma yang ingin mandi sore bareng. Padahal kami mempunyai undangan pernikahan kolega Mas Dharma di rumah sakit. Sungguh nggak bisa dipercayai sekali selangkangan laki-laki. Kami baru selesai sekitar pukul lima sore, sedangkan undangan pukul tujuh malam. Dan mohon maaf, hari ini adalah malam Minggu. Bisa dibayangkan betapa macetnya jalanan menuju gedung resepsi.

"Kamu tuh benar-benar, Mas!" Aku gemas. Ingin marah, tapi pada akhirnya aku juga yang mancing-mancing lagi. Tapi 'kan ya, Bestie, kalau Mas Dharma nggak mancing duluan, aku nggak akan mungkin terpancing. Otakku masih waras untuk mengingat kalau kami mendapatkan undangan dari kolega satu rumah sakitnya Mas Dharma. Tapi, dasarnya saja bapaknya Caca ini genit banget kalau sedang hari libur. Bawaannya nempel terus.

"Namanya juga ingin, Ren." Mas Dharma tersenyum kalem.

"Wah, nanti malam 'kan bisa."

"Caca ngajak nonton film bareng. Nggak yakin dia mau tidur cepat. Nggak baik nahan-nahan, Renata."

"Manis banget kalau cari alasan." Aku mengeluarkan alat make up dari dalam tas. Karena terburu-buru, aku tidak sempat menggunakan eyelinner dan mascara. "Jangan narik gas tiba-tiba, ya, Mas. Aku mau perang dulu." Aku nggak terlalu ahli mengaplikasikan eyelinner dan mascara. Kegiatan itu selalu membuat tanganku tremor karena saking sulitnya. Kalau sampai kesenggol sedikit, emosiku bisa tersulut.

"Kayaknya nggak akan jalan sampai setengah jam ke depan." Mas Dharma memilih santai sambil melihatku berdandan.

"Kalau nggak keburu, Senin minta maaf aja."

"Terburu, tapi paling nggak kebagian katering."

"Mas! Masih dandan nih." Aku mengeluhkan guyonan garingnya yang membuatku menahan tawa. Mas Dharma tersenyum sambil melarikan tangannya ke atas pahaku yang tertutup dress dan mengusap-usapnya perlahan. Aku menyimpan make up-ku kembali ketika telah selesai berdandan. "Yang nikah siapa sih, Mas?"

"Anaknya Prof. Januar yang sedang PPDS."

"Berat banget tuh hidup." Aku menghentikan gerakan tangan Mas Dharma yang semakin meresahkan, kemudian menautkan jari jemari kami. "PPDS bukannya sibuk banget, ya? Mana tugas dan stressnya overload."

"Ya, tergantung pribadinya. Kalau menurutku lebih enak punya istri. Apalagi kalau lagi stres-stresnya."

Aku mendengkus ketika tahu apa maksudnya. "Curiga nih, jangan-jangan kamu sengaja pakai alasan itu setiap malam."

"Nggaklah!" sangkal Mas Dharma, tapi kalimat selanjutnya yang keluar dari mulutnya membuatku ingin memutar balik kemudi. "Kamu aja yang mancing-mancing."

"Bilang aja doyan!"

Kami terbahak-bahak. Sebelum menikah, aku mungkin nggak terpikir bakal membicarakan hal-hal menjurus begini dengan Mas Dharma. Namun, setelah sah secara agama dan hukum, pembicaraan menyerempet tipis-tipis seperti ini menjadi hal wajar dan menyenangkan untuk dilakukan. Apalagi jika pasanganmu benar-benar pas dan pengertian.

Aku yang masih awam dan belum berpengalaman seringkali penasaran dan ingin mencoba hal-hal baru. Beruntungnya pasanganku sepengertian dan sesabar Mas Dharma yang mau bereksplorasi bersama. Walaupun, seringkali aku merasa kalau dia berubah jadi pria tiga puluhan lagi. Semangatnya menggebu-gebu dan berdampak pada kehidupan ranjang kami yang sangat instens dan konsisten.

"Nggak apa-apalah, Ren. Hitung-hitung biar proyek adiknya Caca cepat terealisasi. Umurku juga sudah nggak muda lagi."

"Tua-tua begini dapat istrinya muda banget." Kuusap rambutnya sambil tertawa. "Masih jadi bahan gosip di rumah sakit, Mas?"

Pesona Rasa After MarriageWhere stories live. Discover now