10| Kejutan

796 72 2
                                    

Daniswara dan Endaru terkejut bukan main tatkala Caturangga mendatangi kelas mereka berdua untuk menghabiskan jam istirahatnya.

Padahal biasanya, Caturangga lebih sering berkumpul dengan teman-teman yang nakal di belakang sekolah daripada berkumpul dengan adik-adiknya. Tapi hari ini?

"Bang Catur, tumben banget istirahat bareng kita. Udah tobat bang?" celetuk Endaru yang sedari tadi memperhatikan Caturangga tidur di meja sebelahnya.

"Lagi gak mood, bercanda mereka kelewatan. Gue gak suka sama candaan mereka, itu makanya gue kesini," jawab Caturangga yang mendengus kasar.

Endaru melirik Daniswara yang duduk di depannya. Bukan Endaru namanya, kalau tidak bertanya sampai ke akarnya. Sementara, Daniswara memilih untuk menjadi pendengar yang baik saja. Dia malas berurusan dengan Caturangga.

"Bercandanya kayak gimana emang?"

"Orangtua."

"Orangtua temen Abang di kata-katain?"

"Bukan temen gue, tapi Orangtua kita." Seketika raut wajah Endaru dan Daniswara berubah serius.

"Terus, Abang diem aja?" tanya Endaru yang menahan kesal. Meskipun dia tahu teman-teman Caturangga blangsak semua, tapi tetap saja, ia tidak rela jika mendiang orangtuanya di jadikan bahan candaan. Siapa sih, yang tidak marah kalau orangtuanya di bawa-bawa? Apalagi di jadikan bahan candaan yang tidak enak.

"Bentar lagi gue juga di panggil." Endaru mengerutkan dahinya tak paham, dia kemudian menatap Daniswara dan pria itu hanya mengendikkan bahunya.

"Oh ya, Nis. Uang lo nanti ya, gue harus ikut balapan dulu biar bisa bayar utang, nungguin Bang Abi, bisa sampe botak gue."

"Gak perlu di bayar bang, uangnya buat Abang aja kalo udah dapet." Caturangga langsung mengangkat kepalanya.

"Kenapa? Lo takut karena itu uang haram?" Daniswara menghela napasnya.

"Aku sama Daru baru dapet rejeki, dan uangnya lumayan buat simpenan kita berdua. Jadi, kalo Abang udah dapet uangnya, simpen aja buat Abang." Caturangga menatap sang adik sejenak sebelum akhirnya kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja, pria itu memejamkan matanya lagi.

"Oh iya, akhir-akhir ini, bang Abi keliatan gak sehat banget. Mukanya selalu pucet kayak orang sakit, bang Catur tau gak?" Caturangga diam tak bergeming, pria itu memilih untuk tetap tidur ketimbang menjawab.

"Waktu itu Gentala--" Endaru langsung diam ketika Daniswara menendang kakinya pelan.

"Gapapa, barangkali hatinya tergugah," ucapnya dengan suara seperti berbisik pada Daniswara.

"Gentala kenapa?" tanya Caturangga yang sedikit penasaran.

"Dia nemuin tumpukan tisu yang isinya darah dari kamar bang Abi, cuma kita emang gak berani nanya karena gak bakal di jawab jujur sama bang Abi." Mendengar hal itu, Caturangga sontak terbangun dari tidurnya.

"Kalian tau apa penyebabnya?" kedua adiknya serentak menggeleng dan menatap Caturangga serius.

"Ya karena dia nyusahin diri sendirilah, kenapa dia maksain buat kerja sementara kita gak maksa untuk di biayain sekolahnya? Apa dia ngerasa bersalah karena jadi penyebab orangtua kita meninggal? Itu makanya dia kerja sampe mampus." Kedua adiknya langsung terdiam, mereka tak bisa berkata-kata lagi usai mendengar penuturan kasar dari abangnya. Caturangga itu, memang benar-benar haters Abimanyu di garda terdepan.

"Dan kalaupun dia sakit, itu salah dia sendiri. Bukan salah kita-" ucapan Caturangga terhenti tatkala seorang murid laki-laki masuk ke kelas sang adik dan menghampirinya.

No Time To DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang