Jam yang menggantung di dinding ruang tengah rumah Almeera menunjukkan pukul 20.55. Nanta yang masih setia berada di depan layar datar terlihat sangat mahir dalam mengotak-atik stik ps. Beberapa kali dia mengumpat karena kalah dari lawan mainnya. Fokus Nanta terganggu saat seseorang mengetuk pintu rumahnya.
"Bang Nan, bukain dong," teriak seseorang dari luar rumah setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
"Hasyem. Biasanya juga main nyelonong, pakek gaya-gayaan ngetuk pintu segala," gerutu Nanta, namun tetap berjalan menuju kepintu utama.
"Lama bener deh, bang?" kesal Albi sesaat pintu terbuka dan menampilkan wajah tampan Nanta.
"Bacot lo, setan," balas Nanta kesal. "Lagian, ngapain juga lo pakek ketuk pintu segala, Biasanya juga main nyelonong." imbuhnya.
"lagi kesel gue," jawab Albi kemudian membanting diri di atas sova milik Nanta.
"Geser dong," pinta Nanta pada lawan bicaranya, "kesel kenapa lo?"
"Cewek gue selingkuh."
Nanta terbahak mendengar penuturan singkat Albi. Membuat Albi melotot kesal.
"Lah ngapain lo melototin gue? ngajakin berantem apa gimana?" tanga Nanta tak terima.
"Bukannya nantangin berantem. Cuma gue kesel sama lo, gue curhat tentang cewek gue," Albi menjeda kalimatnya sesaat untuk berfikir. "Ralat mantan gue maksudnya. Kenapa lo malah ketawa, sih? seharusnya kan lo sedih kek, apa kek, biar kesannya kek paham sama keadaan gue?" jelas Albi kemudian memasukkan sepotong chocochip kedalam mulutnya.
"Kalau gue ikut sedih, siapa yang dengerin curhatan lo dodol. Lagian kalau dia milih buat selingkuh, berati emang dari awal nggak ada niatan seeius sama lo."
Albi menggut-manggut sambil memikirkan perkataan Nanta.
"Almeera di mana, bang? Kok nggak kelihatan?" tanya Albi sambil celingkuan mencari keberadaan sahabatnya itu.
"Ada, lagi di kamar. Kenapa?"
Albi berdiri dari duduknya bergegas untuk pergi ke kamar Almeera. Namun langkahnya terhenti saat kaos bagian belakangnya ditarik oleh Nanta.
"Mau kemana lo kampret?"
"Apaan deh, bang. Lepasin, kaos gue melar ntar." kesal Albi sambil memukul tangan Nanta. "Gue mau nyamperin Almeera, " lanjutnya.
"Enak aja! Kagak boleh. Lo itu cowok mau seenaknya aja masuk ke kamar adik gue."
"Lah, biasanya kan juga gitu. Gue masuk kamar Almeera begitu pun sebaliknya? nggak ada larangan?"
"Itu dulu. Sekarang udah beda!"
"Bedanya apa coba?"
"Duduk dulu lo!" perintah Nanta.
"Iya iya gue duduk. Lepas dulu." Nanta melepas cengkramannya di bagian belakang kaos Albi membuat sang empu duduk di sebelahnya.
"Jadi, kalian kan udah sama-sama gede, nggak boleh seenaknya keluar masuk kamar lawan jenis. Ntar bisa jadi fitnah."
"Iya deh iya." Albi mengambil toples berisi chocochip, membawanya kedalam pelukannya.
"Loh, ada Albi?" suara bunda Mei sesaat melihat Albi yang duduk di sova lengkap dengan toples dalam pelukannya.
"Tante," sontak laki-laki itu menaruh kembali toples keatas meja, kemudian bergegas menghampiri Mei untuk menyalaminya.
"Tumben main kesini, Al?" tanya Mei.
"Iya, Tan, lagi gabut di rumah. Bingung mau ngapain."
"Oalah gitu. Kata Meera, kamu lagi sibuk?"
"Enggak, tan. Sibuk apaan coba?" Albi balik bertanya pada Mei.
"Oh jadi nggak sibuk. Kalau gitu besok lusa bisa dong ikut ke Madiun?"
"Wah, kalau itu pasti bosa dong, tan. Bisa banget malah." Jawab Albi semangat.
"Oke kalau gitu, sabtu pagi kita berangkat."
"Siap, tante." Albi terlihat bahagia. Wajah cemberutnya tiba-tiba saja menghilang kala mendengar tante Mei mengajaknya ikut ke Madiun.
"Ya udah, kalau gitu tante sholat isya' dulu." Pamit Mei, kemudia berjalan menuju mushola rumah.
"Bang, lo tega banget nggak bilang kalau mau ke Madiun."
"Lah, emang apa untungnya bilang sam lo? Yang ada, lo pasti merengek minta ikut."
"Ya nggak pa-pa dong bang gue ikut. Kan makin seru makin banyak orang."
"Hmm." Jawab Nanta singkat. Laki-laki itu terlalu malas jika harus berdebat dengan Albi. Selain ngeselin, Albi itu anaknya ngeyel setengah mati. Salah benar, dia maunya menang. Capek banget deh ngomong sama manusia modelan Albi gini. Mending diem aja dari pada kenak serangan darah tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny || Haechan
Teen Fiction"Pertama bertemu, gue pikir itu hanya kebetulan." "Kedua kali ketemu, gue masih nggak percaya kalau itu takdir." "Sampai saat kita bertemu untuk yang ke tiga kalinya. Gue baru percaya bahwa Tuhan telah menakdirkan kita untuk bersama."