[11]

223 17 28
                                    

Suasana hatinya yang naik mendadak menurun dan bibirnya yang melengkung secepatnya tertekuk mendapati paket besar dari ibunya berada di pelukan Risa yang kebetulan datang ke rumahnya pada pagi hari Sabtu untuk mengajaknya bersama-sama pergi ke klub film. Paket yang selalu dikirim ibunya sebulan sekali—bahkan pernah hampir seminggu sekali—diletakkan Risa di atas meja makan.

"Lumayan berat..." Risa mengembuskan napas panjang akibat menahan napas karena membawa barang tersebut. "Isinya apa?"

"Berbagai macam hasil perkebunan ibuku." Jawab Karin malas, ia pun membongkar paket tersebut. Sebelum ia membuka penutup kotak styrofoam, ia membaca sebuah kartu ucapan yang menempel di sana, 'Setidaknya hubungi Ibu seminggu sekali, jangan membuat Ibu terus mengirimkan ini padamu! Dan pulanglah ke rumah!'.

Karin mendengus sebal.

"Ada apa? Kau sepertinya tidak senang ibumu mengirim barang-barang ini?" tanya Risa, memandangi kartu ucapan tersebut. "Kau jarang pulang ke rumah orangtuamu? Kenapa?"

"Selain benda ini terlalu banyak, paket ini sebagai teguran bahwa aku harus kembali ke rumah. Padahal aku tak pernah meminta dikirim begini." Jawabnya. "Aku tidak suka orangtuaku. Ibuku suka mengatur dan aku masih merasa asing dengan ayah tiriku. Sepertinya satu-satunya yang kusuka di rumah adalah adik laki-laki dari hasil kolaborasi ibu dan ayah tiriku yang pengertian dan baik hati. Sayangnya dia sedang berkuliah di Tokyo, karena itu aku semakin malas kembali ke rumah."

Karin membuka tutup kotak styrofoam. Risa turut menelisik isi dari kotak tersebut. Ada sawi putih, kubis, jamur-jamuran, cabai, dan jeruk. Karin sekali lagi mendengus.

"Oh... jadi, kau punya ayah tiri?" ucap Risa tak menyangka.

Karin berjalan menuju kabinet, menarik laci kedua, mengambil beberapa helai kantong plastik besar dari sana, lalu menyahut, "Ya, sejak aku berumur delapan tahun." dan kembali berdiri di dekat meja, membagi benda-benda dari styrofoam ke dalam kantong yang telah ia siapkan.

"Ayah aslimu ke mana?" tanya Risa, kemudian buru-buru berucap, "Maafkan aku karena terlalu ingin tahu." karena Karin sempat terdiam—barangkali wanita itu merasa tersinggung, atau mendadak sedih.

"Kau tak perlu meminta maaf. Santai saja." Karin berujar dengan sedikit kekehan, terdengar jauh lebih santai dari dugaan Risa. "Ayah asliku punya keluarga baru di Osaka dan membuka restoran shabu-shabu. Dia bahagia dengan keluarganya dan ibuku bahagia dengan keluarganya, jadi keduanya sudah tak perlu saling ikut campur dalam hal apa pun... Em, Risa, tolong bantu aku mengemasi ini agar kita cepat datang ke klub film. Tapi kita harus memberi ini ke pemilik apartemen dulu, lalu singgah sebentar ke kedai sushi Morita. Oh iya, kau juga ambillah untuk ibumu di rumah. Bila aku menerima semuanya, benda-benda ini akan membusuk. Aku tak bisa menghabiskannya sendiri."

Turut mengemasi barang-barang dari styrofoam ke dalam kantong plastik, ia diam-diam memperhatikan pacarnya yang berada di seberangnya. Sejak awal mengenal, mereka berdua tak pernah berbagi cerita mengenai keluarga masing-masing. Bila diingat-ingat, meski Karin pernah beberapa kali menanyai latar belakang keluarga Risa, wanita itu tak pernah lebih dulu menceritakan kehidupannya bersama keluarganya agar Risa terpancing untuk bercerita juga. Barangkali dengan alasan inilah wanita itu tak mau bercerita, di mana ayah dan ibunya bercerai yang menyebabkan rasa pahit bila diingat—lagi pula, anak mana yang senang bila ibu dan ayahnya berpisah? Terlepas dari apa yang terjadi di antara kedua orangtuanya, dan mungkin kenangan yang memenuhi memori Karin saat ini mengenai keduanya adalah kenangan yang menyenangkan.

Paru-parunya bagaikan digelitik dan dijalari rasa hangat. Ia merasa semakin dekat dengan wanita itu, namun cerita singkat mengenai keluarganya tidaklah cukup. Risa ingin mengorek lebih dalam lagi. Ini bukan karena ia memiliki wewenang sebagai kekasih atau karena ia telah menceritakan latar belakang keluarganya hingga ia harus tahu semua mengenai wanita itu. Bila Karin belum mau mengatakannya, pun ia juga tak masalah—bahkan meski wanita itu tak mau sama sekali.

LemonadeМесто, где живут истории. Откройте их для себя