[13]

167 18 1
                                    

"Karin, kau dengar?"

Lamunannya membuyar tatkala tangan Risa melambai di depan wajahnya. Wanita di hadapannya itu menelisik setiap sudut wajahnya dalam kebingungan. Sebentar ia melirik piring wanita itu, yakisoba-nya tinggal sesuap lagi. Sementara yakisoba di piringnya masih tampak penuh.

Ia berusaha mengingat apa yang sedang dibicarakan Risa sedari tadi. Tetapi, ia tak ingat apa pun. "Barusan kau bicara apa?"

"Aku ingin liburan ke pantai sementara kita tidak punya jadwal syuting untuk minggu depan. Kalau hari Sabtu, ada kegiatan bersama ibu-ibu PKK mengurusi kebun semangka mereka. Hari Minggu aku luang. Kita bisa pergi di hari itu."

"Oh... ide bagus." Komentarnya, lalu menyumpit yakisoba dan melahapnya.

"Akhir-akhir ini kau sering melamun." Ucap Risa, menatap Karin lurus-lurus. "Ada masalah lagi di tempat kerja?"

Ia memaksa senyum sembari menggaruk pelipisnya.

Sebenarnya ia tak mau membohongi pacarnya. Namun melihat suasana hati Risa semakin membaik setelah rasa penyesalan yang mengukungnya berkat kematian seseorang beberapa hari lalu hingga ia sakit, ia tak mau membuat Risa kembali terbebani sementara ia gelisah merasakan ada sosok yang kian mengawasinya. Lagi pula, ia tak bisa memastikan apakah pria itu memang benar-benar menguntitnya atau sekadar kebetulan berjalan di belakangnya.

"Kalau dipikir-pikir, pekerjaan dengan mengandalkan banyak berkomunikasi, memiliki aturan dan target tidak terdengar seperti kau... Oh, aku tak bermaksud merendahkanmu atau meremehkanmu." Kata Risa. "Tapi, melihat bagaimana kau bertahan menjadi agen asuransi selama dua tahun, kupikir kau hebat. Kau bisa keluar dari zona nyamanmu."

"Ah, kau benar! Sejujurnya aku tak suka pekerjaan seperti ini." Karin menyetujui perkataan Risa. "Aku tak suka bertemu orang-orang baru atau berada di tempat ramai. Aku sering merasa lelah, seakan-akan energiku dikuras habis oleh orang-orang. Aku juga tidak suka dengan aturan dan target yang diharuskan perusahaanku, rasanya seperti dikekang saja. Mungkin itulah kenapa aku bekerja seperti setengah-setengah."

"Omong-omong, ada sesuatu yang ingin kau lakukan namun belum kesampaian?"

Sebelah alis Karin naik.

"Kuingat kau suka menulis." Tutur Risa. "Kau menulis skenario untuk drama panggung sejak SMA. Saat kuliah pun, kau pernah menulis skenario film untuk lomba menulis lewat daring sampai matamu bengkak karena kurang tidur. Kau bahkan pernah tertidur di kereta saat kita pergi kencan dulu. Masih melakukannya?"

Karin memang suka menulis, terutama menulis naskah dan skenario untuk drama.

Waktu kecil, Karin bercita-cita ingin menjadi pembuat kue dan membuka toko kue sendiri. Tetapi, saat ia mulai banyak menonton serial dan film, Karin penasaran di balik layar pembuatannya. Terutama pada kepenulisan skenario. Karena itu, saat SMA ia masuk ke klub drama karena satu-satunya klub yang dekat dengan produksi kedua hiburan tersebut. Meski itu adalah kegiatan untuk drama panggung, ia ternyata juga belajar cara membuat skenario drama. Dengan itu pula, ketimbang sering diberi lakonan saat pementasan, Karin lebih sering membuat skenario dan mendapatkan jabatan sebagai sutradara. Bakatnya tersebut juga memperoleh hasil yang memuaskan, klub drama mereka terus masuk peringkat tiga besar dan pernah sekali menjadi juara dalam kompetisi drama panggung antarsekolah.

Meski pada akhirnya Karin tak berhasil merayu ibunya agar ia dapat berkuliah di jurusan Perfilman dan Pertelevisian, ia masih setia menulis skenario drama maupun film untuk lomba-lomba yang diadakan—meskipun itu lomba berskala kecil. Ia juga pernah berbagi karyanya dalam bentuk cerita pendek di blog-nya. Lomba-lomba yang ia ikuti meski cukup sulit untuk dimenangi, ia dapat belajar banyak. Saat melihat antusias orang-orang membaca karyanya pun, ia menjadi dua kali lipat bersemangat dan jauh lebih hidup.

LemonadeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora