5. Parade of the Freaks

305 62 12
                                    

LIMA
Parade of the Freaks

"Got long list of ex-lovers, they'll tell you I'm insane…"

Blank Space, Taylor Swift

⠀⠀Meskipun aku tidak percaya-percaya amat pada cinta, bukan berarti aku tidak pernah pacaran. Aku punya sembilan mantan, dan ibarat kucing bernyawa sembilan, 'nyawa' pacaranku juga sudah habis.

⠀⠀Kalau ditanya kenapa harus sebanyak itu, jelas karena aku penasaran. Apakah benar laki-laki itu tidak berguna? Harusnya kan ada satu-dua yang masih bisa ditolerir?

⠀⠀Sayang sekali, dari sembilan mantanku, hanya satu yang masih berteman baik sampai sekarang : mantan pertama. Itu juga karena kami hanya pacaran lucu-lucuan waktu SMP. Sisanya? Ah, benar-benar mengesalkan kalau diingat-ingat. Aku hanya akan menjabarkan yang paling epic.

⠀⠀Mantan nomor tiga, tidak mau pergi kencan kalau tidak dibayari. Manusia sampah itu tentu langsung tercoret dari daftar orang yang kukenal.

⠀⠀Mantan nomor lima, terlalu bodoh. Obrolan kami selalu tidak nyambung, dan dia punya hobi membuat skenario buruk di kepalanya, yang dia anggap sebagai kenyataan. Dia akan menuduhku melakukan sesuatu yang tidak kulakukan dan marah-marah sendiri. Aku memberikannya brosur rumah sakit jiwa saat kami putus.

⠀⠀Mantan nomor enam, terlalu lembek. Suaraku meninggi sedikit saja dia langsung mutung dan menangis diam-diam. Sah-sah saja laki-laki menangis, tapi kalau terlalu sering kan ngeselin juga. Bukannya menyelesaikan masalah, malah menangis. Geregetan, aku memutuskan hubungan dan membiarkan dia menangis lima hari lima malam gara-gara itu.

⠀⠀Mantan nomor delapan, terlalu bernafsu ingin menikah. Dia punya imajinasi tentang pernikahan sempurna di kepalanya : istri penurut yang membuatkan kopi dan memijitkan kaki saat dia pulang kerja, anak-anak lucu yang terus bertambah tiap tahun karena dia tidak akan membolehkan istrinya memakai KB, tapi dia juga tidak mau merawat anak karena itu urusan istri. Ditambah lagi, ketika aku mewarnai rambut, dia malah berkomentar, Mamaku nggak bakal suka kalo menantunya punya rambut berwarna. Baguslah, karena aku memang tidak akan pernah sudi menjadi menantu ibunya!

⠀⠀Mantan nomor sembilan… ini dia yang paling mengesalkan. Salah satu alasanku menjadi keras soal uang. Ketika berpacaran, dia memberikanku banyak hal, membelikan ini-itu, mengajakku pergi makan mewah. Meski aku sudah menolak atau menawarkan untuk bayar sendiri, dia selalu meyakinkan kalau itu tidak apa-apa, karena dia sendiri yang ingin memberikannya untukku. Tapi apa yang terjadi? Ketika kami putus, dia memintaku mengembalikan semua uang yang sudah dia keluarkan. Bahkan, dia juga berkoar ke semua teman-teman sekampus kami bahwa aku adalah perempuan mata duitan yang terus-terusan menguras gajinya. Seolah reputasiku belum cukup jeblok saja.

⠀⠀Sejak saat itu, aku kapok. Kapok pacaran dengan manusia-manusia aneh seperti itu lagi. Kapok menerima apapun dari orang lain. Dan akupun menerapkan kata-kata Mama, untuk tidak pernah bergantung pada laki-laki.

⠀⠀Itulah alasan aku tidak suka diperlakukan seperti tadi oleh Ammar. Bukannya merasa tersanjung, aku lebih merasa direndahkan. Dia pikir aku tidak punya cukup uang untuk membeli kopiku sendiri?

⠀⠀Tidak, aku tidak akan memberi sedikitpun celah bagi orang lain untuk merendahkanku. Lebih baik aku mengangkat dagu tinggi-tinggi dan dipandang sombong daripada aku harus terinjak-injak, seperti binatang yang tak berdaya.

⠀⠀"Bego banget kan gue!" seruku, sementara Sas tertawa geli saat aku bercerita tentang salah telepon waktu itu. Kami sedang ikut menjahitkan payet dan bordiran ke gaun resepsi untuk ibu Sehun, bersama anak-anak magang dan para dedengkot ruang finishing.

⠀⠀"Lagian lu juga, dari sekian banyak nama samaran, kenapa harus Giant coba? Lu pikir dia temennya Doraemon?" Sas masih terbahak.

⠀⠀"Ya kan maksud gue raksasa, gitu. Raksasa! Tapi kok gue gak pernah kepikiran bisa ketuker sama Gian, ya? Dongo deh!"

⠀⠀"Tapi akhirnya Kak Gian tetep dateng kan?" tanya Nuri, yang sepertinya diam-diam naksir pada konsultan ganteng itu.

⠀⠀"Dateng sih. Tapi kan tetep aja gue malu sama Ceye! Mana gue langsung nyerocos panjang lebar… eh apaan lagi nih HP gue geter!" Aku mengeluarkan ponsel yang terselip di saku celana. Menemukan nama Mas Ryu di caller ID. Ada apa sih? Tumben Abang Paling Nyebelin Sedunia menelepon, kecuali kalau tentang…

⠀⠀"Si Rex nelfon gue lagi nih," ujar Mas Ryu tanpa tedeng aling-aling.

⠀⠀"Mau ngapain lagi dia?" tanyaku, tak acuh.

⠀⠀"Biasalah. Lu kasih deh Dek, empat-lima juta kek yang penting dia diem. Pusing gue tuh ditelfonin mulu."

⠀⠀Aku mendengus. "Elu lah yang kasih, lu kan anaknya!"

⠀⠀"Lu juga!"

⠀⠀"Masa'? Dulu dia gak mau ngakuin, giliran sekarang baru inget punya anak perempuan."

⠀⠀"Namanya juga Rex. Lu urusin deh ya, gue belom ada duit. Tau sendiri, masih freelance."

⠀⠀"Ih, ogah amat! Gak mau, sayang duit gue. Mending lu suruh dia ngemis di lampu merah!" semburku, sebelum memutuskan telepon.

⠀⠀Rex yang dari tadi aku dan Mas Ryu bicarakan adalah Bahurekso Adiwirja, ayah kandung kami. Anak jenderal bintang empat, mantan anak gaul 80an, tidak pernah merasakan sulitnya bekerja. Teman-temannya bahkan memanggil dia Rex—bahasa latin untuk 'raja'. Sayangnya, dia suami yang payah dan ayah yang tidak berguna. Sudah puluhan tahun lalu dia bercerai dengan Mama, ngotot menahan Mas Ryu dibawah asuhannya, sementara membiarkan Mama membawaku karena aku anak perempuan yang tidak akan meneruskan silsilah keluarga Adiwirja dan tidak mendapat warisan. Tapi pada akhirnya, dia menelantarkan Mas Ryu juga sehingga Mas Ryu pun ditarik Mama ke Tanah Abang.

⠀⠀Setelah Eyang Kakung yang jenderal itu meninggal dunia, terkubur juga semua kejayaan keluarga Adiwirja. Rex menghabiskan sisa-sisa harta mereka entah untuk apa. Dan akhir-akhir ini, kerjaan Rex hanya menelepon Mas Ryu untuk minta uang bulanan. Aku dan Mas Ryu gantian memberikan seadanya kami, itu juga lebih karena kasihan pada adik-adik tiri yang masih sekolah.

⠀⠀Yup, dua anak dari pernikahan pertama saja tidak dia urus, Rex masih berani mengambil uang Mas Ryu untuk menikah dengan selingkuhannya dan memproduksi dua anak lagi. Luar biasa, bukan?

⠀⠀Lucunya, Rex tidak pernah meneleponku secara langsung. Entah kenapa. Mungkin dia malu minta uang pada anak perempuan yang tidak pernah dia pedulikan, itu juga kalau dia punya malu. Atau mungkin dia takut padaku karena aku yang paling keras mengancam akan menyeretnya ke pengadilan saat dia hampir memalsukan penjualan rumah. Rumah yang Eyang Kakung hadiahkan, hanya untuk aku dan Mas Ryu. Atau dia memang tidak menganggapku anaknya. Biarlah. Apapun itu, aku tidak peduli-peduli amat.

⠀⠀Dengan begitu banyak track record tidak bagus dari makhluk berjenis kelamin lelaki di sekitarku, tidak heran kan kalau aku agak anti pada mereka? Mungkin aku memang seksis, tapi aku tidak peduli.

⠀⠀"Rex lagi ya?" tanya Sas ragu, saat aku mengantongi ponsel.

⠀⠀"Iya. Nyusahin banget emang tuh orang. Gue gak mau ngasih lagi ah, bulan kemaren udah gue. Giliran Mas Ryu tuh."

⠀⠀"Emangnya Mas Yuyu lagi gak ada?" Entah sejak kapan Sas punya panggilan itu untuk Mas Ryu. Padahal kakakku juga sedikit kaku pada orang asing, tapi dia selalu lebih santai saat mengobrol dengan Sas.

⠀⠀"Mas Ryu kan freelance, gak selalu ada. Kalopun ada, dia pasti duluin ngasih nyokap."

⠀⠀"Bener sih, mending ngasih Mama lu. Ketahuan. Daripada lu kasih ke Rex, gak tau juga nguap kemana tuh duit."

⠀⠀"Makanya itu." Aku meniup pelan, berusaha menenangkan diri dari amarah yang selalu terpantik kalau sedang membahas Rex. Lebih baik aku fokus pada kerjaan di depan mata.

The VillainWhere stories live. Discover now