70. Buku Jalan

9.3K 1.6K 141
                                    

"Mereka sudah disini."

Anstia cepat-cepat mengeluarkan kunci yang diberikan oleh Kasilva. Dia berlari ke arah Hil untuk membuka jeruji milik perempuan itu.

"Kita akan pergi?"

Anstia mengangguk. "Ikut saja."

Suara dentuman kuat, ditambah suara raungan kuat beserta api yang menyembur dari sana sini.

"Dimana dia meletakkan anti sihir itu?"

"Seluruh Istana." Anstia mengerang kesal.

Kasilva tampak berlari dari arah lain, nafasnya tampak berderu. "Apa dia orangmu? Dia ingin membunuhku dari tadi."

Anstia menatap siapa yang Kasilva maksud. "Rusta."

Rusta tampak terdiam, matanya tampak kaget menatap Anstia yang benar-benar nyata dihadapannya.

"Kau masih hidup?"

Anstia berdecak. "Kalau aku mati berarti kau juga bodoh."

Rusta mengerutkan kening. "Kenapa aku merasa itu harusnya kata-kataku?"

"Bantu aku." Anstia menunjuk sebuah sudut. "Kalau kau melihat darah di sepanjang jalan cepat-cepat keringkan, itu adalah anti sihir."

Rusta tanpa bertanya mengangguk. "Mereka semua sudah disini, kau keluarlah dan bertemu mereka."

Anstia mengangguk. "Periksa area sana, aku akan periksa area sebelah sini."

Rusta mengangguk. Mereka berpisah.

Anstia berlari dengan Hil memegang tangannya sedangkan Kasilva berlari sambil memperhatikan sekitar, melihat dimana ada Anti sihir.

"Berikan bukunya."

Hil mengeluarkan buku bersampul ungu itu dari dalam bonekanya, dia memberikan buku itu pada Anstia.

"Kalian berdua pergi ke tempat yang paling aman, bersembunyilah. Sebelum aku menjemput jangan keluar. Sisanya serahkan padaku." Kasilva dan Hil mengangguk.

"Hati-hati." Kasilava menepuk bahu Anstia sebelum berlari menjauh dari Anstia.

Anstia membuka lembar terakhir buku tersebut sambil mencari tempat yang aman untuk menulis lanjutan cerita ini.

Sebuah ruangan yang terdapat di lantai kedua tampak agak tertutup karena semua area di tutupi oleh kain tebal agar cahaya tidak masuk.

Suara diluar sana masih terdengar. Perang masih berlanjut.

Anstia menatap kertas tersebut, dengan alat tulis ditangannya tapi dia tidak tau harus menulis seperti apa. Bagaimana?

"Kau tampak kesulitan." Anstia menoleh, dia seketika berdiri dari kursinya, menatap mata merah dengan seringai kecil ke arah Anstia. "Apa aku terlalu lama pergi sampai kau tidak mengenalku?"

Anstia menatap laki-laki itu, rambut panjang hitam, mata merah dan senyuman menyebalkan. "Yasa.. "

Yasa, tersenyum. "Ya, ada perlu sesuatu Tuan Putri?"

"Bagaimana kau bisa ada disini?" Anstia menatap Yasa yang mengangkat bahu, dia menatap sekelilingnya. "Kau tinggal disini?"

Yasa menatap Anstia, dia tersenyum. "Begitulah."

"Kau bagian dari penyihir hitam?" Anstia menatap Yasa yang tersenyum. "Aku kira, kau orang baik."

Yasa mengangkat bahu. "Tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini."

Anstia menatap buku yang ada di atas meja, begitu juga Yasa. Yasa yang sadar akan itu meraih buku tersebut. "Kembalikan!"

"Kenapa?" Yasa tersenyum. "Kau belum menulis apa-apa, hm?"

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now