21. Sepuluh Tahun

29K 4K 38
                                    

"A-apa?"

Anstia mengangguk antusias. "Aku senang sekali, Ayah tidak pernah mengizinkan aku untuk keluar dari istana. Jadi ini akan jadi kali pertama dan pasti menyenangkan!" Anstia menatap Putri Janesita yang tampak membuang muka ke arah lain. "Kau tidak suka?"

"Ah, bukan begitu." Putri Janesita menggeleng pelan. "Hanya saja, aku bukan bagian dari Kerajaan ini. Aku rasa aku tidak perlu ikut."

Anstia menggoyangkan kakinya, keduanya berada di kamar lama Anstia yang masih sama. Tertata rapi, Ester selalu membersihkan kamarnya. Dia jadi rindu tinggal di sini.

"Aku akan pergi ke kemah Putri minggu depan." Putri Janesita melirik. "Yang aku tau selama ini hanya istana, para Pangeran, pelayan, prajurit dan Raja. Duniaku hanya sekitar istana, aku tidak tau di luar sana. Raja tau kalau kau bisa bersosialisasi dengan baik, karena itu dia meminta kau ikut untuk membantuku. Raja hanya tidak ingin aku kesulitan nantinya saat kemah itu karena tidak tau cara berinteraksi dengan orang lain. Tapi kalau kau tidak mau tak apa, mungkin aku akan mencoba sendiri di sana. Semoga saja rakyatku tidak menolakku."

Putri Janesita menunduk, dia ingin membantu tapi takut Pangeran Hilberth akan benci padanya. Cintanya sejak sepuluh tahun lalu tidak pernah berbalas.

Putri Janesita menatap Anstia yang turun dari ranjang dan berdiri. "Kalau begitu aku pergi dulu, besok aku akan berangkat bersama Pangeran Hilberth. Mungkin aku hanya tiga atau empat hari disana lalu kembali untuk kemah itu. Semoga saja aku bisa mendapatkan teman di sana." Putri Anstia berjalan.

Janesita menggigit bibir bawahnya, dia takut Hilberth akan semakin benci padanya tapi dia tidak mau sampai Anstia di bedakan nantinya karena tidak memiliki teman. Itu tidak baik untuk seorang Putri Raja yang sangat di sayangi oleh para Pangeran dan sang Raja sendiri.

"P-putri." Anstia tersenyum miring, hati Putri Janesita sangat lembut ternyata. Anstia berbalik, memasang wajah ceria yang seakan di buat-buat padahal dia menunggu Putri Janesita menghentikannya.

"Kenapa?"

"A-aku akan ikut." Putri Janesita menunduk. Biarkan saja Hilberth memarahinya, dia pergi bukan untuk Pangeran Mahkota itu tapi untuk Putri Anstia yang telah menjadi temannya.

"Sungguh?!" Anstia berlari ke arah Janesita dan memeluk Putri itu. "Terimakasih, aku tidak akan nakal. Aku janji." Anstia tersenyum lebar, rencananya berjalan dengan mulus.

Putri Janesita tersenyum, dia belum pernah di peluk oleh Putri lain selain Kakaknya. Dia juga baru tau jika mata Anstia yang sangat mirip dengan milik Raja sangat indah. Namun dia tetap menyukai mata Hilberth yang tenang itu.

"Kalau begitu, kemasi barang-barang karena besok kita akan berangkat!"

Janesita tersenyum. Putri Anstia sangat baik, dia senang setidaknya ada satu orang yang menerimanya. Meski calon suaminya sendiri selalu mengabaikannya.

"Putri, aku ingin bertanya."

Anstia menatap Putri Janesita yang tampak gugup. "Apa?"

"Apa Pangeran Hilberth menyukai orang lain?"

Anstia menatap Putri Janesita. "Aku rasa dia tidak pernah menyukai seseorang." Anstia duduk di samping Putri Janesita. "Dia terlalu fokus untuk mempersiapkan diri menjadi penerus takhta, dia terkadang terlalu serius. Di luar dia memang terlihat dingin, tapi aslinya dia baik. Dia bahkan sering memberikan aku benda berkilau."

"Putri suka benda berkilau?"

Anstia menyengir. "Iya, aku sudah memiliki satu peti besar berisi benda berkilau. Aku sedang mengumpulkan lagi untuk peti kedua."

"Aku memiliki beberapa perhiasan, Putri mau?"

"Harusnya aku yang memberikan padamu, kau 'kan calon Kakak iparku." Anstia mengambil hiasan rambutnya, sebuah hiasan berbentuk bunga dengan berlian sebagai inti bunga. "Sebenarnya ini pemberian Raja, tapi aku sudah bilang ingin memberikan padamu dan Raja setuju. Ini sebagai ucapan selamat datang dariku." Anstia memberikan hiasan itu pada Janesita.

"Ini indah." Berlian merah jambu yang berada di tengah kelopak bunga yang berwarna emas itu menambah kesan indah dan mewah, namun manis. "Terimakasih Putri."

"Sama-sama." Anstia tersenyum senang. "Kau mau aku ajak berkeliling?"

"Tapi saya tidak boleh ke istana."

"Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." Anstia tersenyum.

***

Astevia menurunkan pedangnya, dia menatap Putra Mahkota yang menjadi lawan berpedangnya.

"Anastia tidak ikut latihan?" Astevia tau jika Anstia sering berlatih pedang bersama para Pangeran, atau prajurit perempuan yang sedang berlatih. Tapi dia tidak menemukan Putri Bungsunya itu.

"Dia sedang di Mansion Ruby, Ayah." Pangeran Brandon, Pangeran bungsu itu terlihat berkeringat. "Tadi Anstia mencari Ayah, tapi Ayah sedang rapat."

Astevia mengangguk, dia tidak pernah melarang Anstia untuk pergi ke Mansion Ruby. Tampaknya Anstia sangat senang dengan kehadiran Putri Janesita.

"Ayah!"

Astevia menoleh, matanya menatap Putri bungsunya dan Putri Janesita yang memberikan salam.

"Salam, Yang Mulia." Putri Janesita menatap para Pangeran lalu memberikan salam juga.

"Ayah berlatih pedang disini?" Anstia menatap para Pangeran. "Kakak!" Anstia menjerit kesal saat Pangeran Brandon membasuh wajahnya dengan air danau berkilau yang menjadi favorit Anstia.

"Apa?" Pangeran Brandon menatap adiknya bingung.

"Nanti airnya tidak berkilau lagi karena keringatmu!"

"Itu tidak ada hubungannya!" Brandon memutar bola matanya.

"Ada, danau ini akan tercemar keringatmu yang bau itu!"

Pangeran Brandon berjalan mendekat pada Anstia, dia mencubit kedua pipi Putri bungsu Raja itu. "Kau cerewet sekali."

"Kakak!" Anstia memukul tangan Pangeran Brandon. "Ayah.. "

"Mengadu lagi." Pangeran Brandon memutar matanya malas, dia menerima kain untuk mengelap wajahnya. "Selamat sore, Kakak ipar." Pangeran Brandon menyapa Putri Janesita yang sejak tadi hanya diam, menatap apa yang mereka lakukan.

"Ah, selamat sore Pangeran Brandon." Putri Janesita sedikit membungkuk.

"Kenapa Ayah berlatih disini? Tidak biasanya." Anstia melirik Putra Mahkota, dia lalu menatap sang Ayah.

"Ingin suasana baru." Sang Raja memberikan pedangnya pada pelayan, kemudian berjalan menuju kuda-kuda yang merupakan tunggangan untuk kembali ke istana.

"Ayah, aku ingin menginap di Mansion Ruby." Astevia menoleh, menatap Anstia lalu melirik Putri Janesita yang tampak gugup.

"Di sana tidak aman."

"Pangeran Brandon akan ikut denganku." Brandon yang namanya di sebut menatap Anstia. "Aku rindu kamarku."

"Disana berbahaya, kau pernah hampir mati disana." Suara Pangeran Hilberth membuat Anstia cemberut. "Jangan karena ingin bermain, kau mengabaikan keselamatan."

Anstia menunduk, kesal karena tidak mendapat apa yang ia mau. Putri itu berjalan melewati taman rumput luas yang memisahkan antara istana dan danau berkilau.

"Kau tidak perlu sekeras itu, Hilberth." Pangeran Hilberth menunduk, jika sang Raja sudah menyebutkan namanya, artinya sang Raja sedang marah. "Antar Putri Janesita kembali. Sylvester, kejar adikmu."

Sylvester menarik menaiki salah satu kuda dan mengejar Anstia yang sudah berjalan cukup jauh.

"Kembalilah ke Mansion, Putri Janesita. Besok akan ada perjalanan panjang."

Putri Janesita membungkuk sebelum sang Raja naik ke atas kudanya dan menyusul Putri Anstia.

"Ayo." Putri Janesita mengikuti langkah Pangeran Hilberth.

. . .

Update gengssss...

TAWS (1) - AnstiaWhere stories live. Discover now