Athanasia melirik Claude yang kini sibuk membaca berkas-berkas miliknya. Seperti biasa, laki-laki yang selalu mengenakan kain khas Siodona itu memang luar biasa menawan. Bahkan sebagaii putrinya, Athanasia mengakui bahwa Claude sangat menarik.
Wajahnya yang serius memberikan nilai plus tersendiri untuknya. tatapannya jatuh pada pena yang dikenakan oleh Claude. Athanasia terkejut. dia baru memperhatikan Claude secara detail setelah sekian lama dia bekerja di ruang pribadi milik claude.
Dia menyadari bahwa pulpen hitam yang dikenakan Claude adalah pulpen yang dia berikan pada saat ulang tahunnya. Apakah laki-laki itu menyampan hadiah darinya?
Athanasia tidak dapat menghentikan pikirannya dari para penasaran.
Saat dia muai merasa senang, satu kenyataan seolah menamparnya dan mengembalikan logikanya ke tempat semula.
Dia ingat dengan sangat bahwa setiap Athanasia memberikan hadiah untuknya, Claude bahkan tidak mau untuk melirik. Saat tangannya terulur, lai-laki itu selalu menepisnya. Seolah itu adalah barang yang menjijikkan.
Pernah satu ketika, Claude menepis tangannya hingga hadiah itu tergulung masuk ke dalam air mancur di belakang Istana Garnett. Athanasia tidak sempat mengambilnya. Dia terlalu sibuk meratapi perlakuan ayahnya tanpa lagi memikirkan hadiah yang sudah tenggelam ke dasar kolam. Mungkin hadiah itu masih disana.
Seingatnya, Atahanasia memang tidak pernah kembali membawa hadiah yang dia berikan untuk ayahnya. Setiap hadiah itu jatuh, Athanasia akan terus mengabaikannya. Bukan karena dia tidak mau mengambinya. namun, akan lebih sakit rasanya jika membawa hadiah kembali pulang karena yang dituju tidak mau menerima.
Dan hal itu terus menerus terulang.
Karenanya Athanasia menepis pemikiran bahwa pena yang digunakan Claude adalah hadiah darinya. Lagipula, walaupun dia memesan desainnya sendiri, bukan berarti penjual itu tidak memproduksi motif yang sama. Yang membedakan pena darinya atau bukan adalah tulisan kecil yang ada disana, namun Athanasia tidak berniat untuk mencari tahu.
"Ada yang ingin kau katakan?" Claude mendongakkan kepalanya menatap Athanasa.
Claude memang menyadari bahwa Athanasia memperhatikannya, hanya saja, dia memilih untuk mengabaikannya. Tidak sulit untuk Claude menemukan kenyataan bahwa seseorang mematokkan tatapan padanya, mengingat saat masih muda dia sudah belajar ilmu pedang. termasuk belajar cara mendeteksi lawan yang bersembunyi disekitarnya.
Athanasia menundukkan kepala, menatap kertas yang masih berada di tangannya. Rasanya memalukan saat kita ketahuan memperhatikan orang lain. "Ehem, Yang Mulia, sepertinya proposal pengajuan sSiodona menjadi desa wisata bisa dipertimbangkan."
"..."
"Sioodna dikenal sebagai desa yang masyarakatnya memiliki darah seni. Hanya saja wilayah mereka cukup jauh dari pusat kota sehingga mereka kurang bisa mendstribusikan barang-barang hasil kerajinan tangan. Orang-orang yang dapat datang ke kota hanya sebagian kecil dari mereka. Karenanya pertumbuhan ekonomi masyarakat Siodona cenderung lambat."
"Menurutmu begitu?"
"Iya, Yang Mulia. Orang-orang yang hendak berwisata ke Siodona pasti akan memikirkan waktu yang mereka tempuh dan biaya yang harus mereka keluarkan. Kebanyakan hanya melihatnya dari event yang tidak setiap saat diadakan di kota."
Claude merenungkan sesaat, mengingat wajah cantik bersurai pirang dan mata violetnya yang indah. "Jadi, bagaimana pendapatmu?"
"Saya pikir akan lebih baik jika kita memberdayakan sumber daya yang ada di Siodana. Wilayah itu juga kawasan padang rumput yang dikelilingi pegunungan. Kupikir pemandangan alam disana sangat indah. Mungkin kita dapat membuat transportasi menuju Siodona menjad lebih cepat." Athanasia mencoba mengemukaan idenya.

KAMU SEDANG MEMBACA
IF [Suddenly, I Became A Princess]
Fiksi PenggemarBerlatar belakang setelah side story 'Lovely Princess World' . . . Karakter punya Plutos/spoon Media bukan punta gue FANFICTION