1 - IPA

211 15 3
                                    

Bel istirahat berdering sekitar beberapa menit yang lalu. Semua siswa sudah berhamburan keluar dari ruang kelas. Mereka tentu memiliki agenda tersendiri untuk menghabiskan waktu istirahat. Sebagian besar siswa mungkin langsung bergegas ke kantin. Berusaha berebut bangku dan meja di sana agar bisa menikmati makanan dengan damai. Beberapa lain mungkin memilih untuk pergi ke perpustakaan atau duduk-duduk di pinggir lapangan. Ada juga segerombolan anak laki-laki yang memilih pergi ke area belakang sekolah untuk membicarakan rencana yang akan mereka lakukan selepas jam pulang.

Di antara banyaknya tempat di sekolah, Saka berjalan santai menuju sebuah ruang kelas. Ia tidak sendiri saja. Ada Hanafi yang berada persis di sebelahnya. Ketika mereka berjalan, siswa yang berada di koridor seperti memberinya ruang agar bisa lebih leluasa. Ada beberapa orang juga yang sibuk curi-curi pandang ke arah mereka. Saka dan Hanafi memang sering kali bersama. Hampir seluruh penghuni sekolah tahu bahwa mereka sudah berteman baik dari kecil. Mereka bahkan selalu berada di satu sekolah yang sama sejak TK. Makanya tidak heran jika Saka dan Hanafi terlihat sangat dekat.

Jika berbicara tentang kedekatan hubungan mereka, ada satu orang lagi yang tidak bisa dilupakan. Sekarang Saka dan Hanafi sedang menuju ke kelasnya untuk mengajaknya makan di kantin bersama.

Setibanya di depan kelas yang mereka tuju, mereka justru hanya mampu terpaku. Masalahnya ada seseorang yang berada di depan pintu. Namanya Deva. Namun Saka, Hanafi, dan siswa lain biasa memanggilnya dengan nama Depoy. Cowok itu tengah berdiri persis di hadapan pintu yang sengaja Ia tutup.

"Lo berdua nggak bisa masuk."

"Kenapa? Apa gue harus pake fingerprint dulu supaya bisa masuk?"

Deva menjawab pertanyaan Saka dengan gelengan.

"Atau harus scan barcode dulu?"

"Kelas gue bukan mall. Yaa meskipun kelihatan paling eksklusif dan mewah, sih."

"Mana ada kelas mewah yang gagang sapunya tinggal setengah begitu?" Saka mencerca sambil menuding sapu yang tengah bersandar di salah satu sisi dinding. "Katanya doang kelas unggulan, tapi nggak mampu beli sapu baru. Fakir uang kas. Perlu gue sumbangin uang kas kelas gue nggak?"

"Duit kas nggak dibawa mati!"

"Tapi dibawa lulus." Hanafi membalas nyolot. "Lumayan kalo masih ada sisa. Bisa borong cimol satu gerobak!"

Deva memutar bola matanya jengkel. Memang ada baiknya dari awal Ia tidak perlu menanggapi Saka dan Hanafi. Kalau sudah berurusan dengan dunia perbacotan, Saka dan Hanafi adalah juara bertahan. "Gue tau tujuan lo berdua ke kelas ini buat nyamperin Asya, tapi sayangnya dia nggak ada di kelas. Dari awal jam istirahat itu anak langsung cabut ke ruang guru."

"Ngapain ke ruang guru? Ketemu Iqbaal?"

"Yang jelas sih kabur biar nggak ketemu sama lo berdua."

"Lo nggak bohong, kan?"

"Aduh, males banget bohong sama lo! Lo berdua tuh bandar dosa. Kalo harus bohong sama bandar dosa, dosa gue bisa berkali-kali lipat!"

"Nggak usah bahas-bahas dosa, kalo lo masih skip waktu ngaji buat main warnet. Emang rasa cinta lo sama CPU warnet nggak perlu diragukan lagi." Saka menepuk-nepuk pundak Deva. "Kalo gitu, sebagai Raja Warnet yang amanah dan bijaksana, biarin kita berdua masuk kelas lo."

"Gue paham kalo otak anak kelas IPA buangan nggak seberapa besar, tapi buat ngerti kata-kata gue aja masa nggak bisa? Asya nggak ada. Mau lo cari sampai ke laci meja juga nggak bakal ada."

"Kita perlu buktiin sendiri!" Hanafi bersikeras. "Mentang-mentang ketua kelas, berasa paling berkuasa lo?"

"Iya, lah! Gue harus bertanggung jawab penuh sama kelas ini!"

UnfairWhere stories live. Discover now