Bagian 21 (Yirmi Bir)

116 40 10
                                    

"Oneday, you must get the worst Gift.— Suatu hari, kamu harus mendapatkan hadiah terburuk.”
_________

Saat ini wanita itu duduk sembari menggenggam tangan Kakek Osman yang terbaring sakit di ruang ICU. Di sinilah alasannya. Alasan mengapa Wildan begitu marah kemarin.

Selain karena Anna tidak mengangkat teleponnya, dia juga tidak memberi kabar jika pulang terlambat. Padahal saat itu sang Kakek tiba-tiba harus dilarikan ke rumah sakit. Berkali-kali menyebut nama 'Anna' di tengah kesadarannya yang semakin menipis.

Dan semua semakin membuatnya murka dengan kenyataan bahwa adiknya malah sedang bersenang-senang dengan Pelukis sialan itu.

Namun meski akhirnya tahu rentetan alibi Wildan soal amarahnya hari itu, Anna tetap tidak akan menolerir pukulannya. Jika situasinya sedang tidak berkabung seperti ini, dia pasti sudah melontarkan semua komplainnya.

Karena sejak awal hanya Anna yang memang bermasalah. Hanya dia yang patut mendapat ribuan umpatan Wildan dan dia sudah mendapatkannya kemarin dengan telinga terbuka dan mata tertutup. Mendengarkan untuk yang kesekian kali untuk tidak menemui Ray lagi. Dari pada itu, Anna lebih jauh menyesal karena saat sang Kakek kritis, dia tidak mendampingi.

Anna terus menggenggam tangan keriput Kakeknya. Merasakan semakin hari kulit itu semakin pucat dan dingin. Rasa bersalah amat sangat memenuhi hatinya.

"Kakek.. Bangunlah.." Anna menutup mata dengan air mata berlinang. Entah apakah genggaman tangannya bisa menyalurkan kekuatan, sedangkan ia sendiri sedang rapuh saat ini. "Tolong bangunlah, Kek.. Aku di sini.. Maafkan aku.."

Ruang VIP itu lengang. Belum juga ada respon dari Kakek. Bunyi suara monitor masih sama sejak kemarin dan belum juga terlihat memberikan tanda-tanda baik. Di saat seperti ini, Anna sulit menangkan diri dan rasanya kepalanya butuh sandaran, tapi ia pun sadar.. bahu keluarganya bukan tempat yang tepat.

"Nona Anna. Keluarga Anda ingin bicara dengan Anda di luar." Seorang suster mendekat. Anna menjawab dingin. Kedua matanya tampak kosong.

"Ada apa?"

"Katanya penting."

Anna mengusap wajah lalu berdiri. Meninggalkan pembaringan Kakeknya sejenak.

Usai menutup pintu pelan, Anna menemukan keluarganya duduk di bangku lorong rumah sakit. Melihatnya muncul, mereka semua berdiri.

"Apa Kakek sudah mau bicara?" Tanya Abla Vaya. Disampingnya berdiri Anne yang juga sudah pulang sejak kemarin. Dalam hati dia tertawa getir.. Ternyata dua orang ini baru mau pulang saat keluarganya sekarat.

"Kakek masih lemah. Dia tidak menanggapi suaraku." Jawab Anna sambil duduk. Menghirup udara rumah sakit sedikit lebih lapang dari pada saat dia di ruangan Kakek.

"Bukankah sekarang kamu harus mempersiapkan diri? Besok lusa kamu wisuda." Anna terdiam mendengar pertanyaan Anne yang mengarah pada hal yang sama sekali tidak ia urusi. Entahlah.

"Kamu tidak boleh absen dari wisudamu, Anna." Vaya berkata serius. Mewakili titah sang ibu yang tidak direspon. "Pihak kampus sudah menghubungi Baba jika nanti kau akan mendapatkan penghargaan Mahasiswi Terbaik."

Rasanya Anna ingin tertawa sekarang. Tapi dia tidak bisa. "Apa penghargaan itu lebih penting dari Kakek?"

"Semua ini juga untuknya, bodoh." Wildan menyahut. "Kau pikir siapa cucu yang paling dia harapkan? Tentu saja kau."

ANNA KEYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang