17. PEREMPUAN PENGHUNI CAKELA?(tentang judge/mindset)

124 33 34
                                    

*17.

(A/n. Sebagian isi part ini fiktif. Mohon ma'af jika ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian di dunia nyata.

Tidak bermaksud menyinggung siapapun🙏)

❤️

Pov. Arkha Bamantara

❤️

"Kak! Udeng Suryo Mojopahitku mana?"

Seperti biasa, bila akan berangkat kerja Radit ribut mencari perlengkapan kerjanya. Pemkot tempat dia kerja mengharuskan memakai batik khas kota jika hari kamis. Termasuk memakai udeng.

"Di situ, Diit! Udah kakak siapkan! Dekat dengan seragam, namtag dan tas kamu!" jawab Arini sambil sibuk membuatkan pancake untuk saya. Aromanya membuat perut saya keroncongan. Mbak Ningsih menawarkan diri membantu mencari. Asisten rumah tangga itu cuma tidak berlaku untuk saya. Karena apapun keperluan saya di layani Arini sendiri. Lagian saya juga tidak suka di layani orang lain.

"Lap topku mana, Kak?"

Saya menghela napas. Sepertinya Radit itu tidak bisa hidup tanpa Arini.

"Kakak isi daya di atas, tadi malam kamu ketiduran habis lihat drakor, kakak cek baterai low."

Radit tertawa, bergegas ke lantai atas. Saya sendiri sibuk dengan lap top saya. Membuat slide prestasi. Hari ini saya akan berangkat kerja bareng Arini. Saya harus visite. Dia sudah memakai seragam meski di dapur. Sibuk menerima telfon sambil menata pancake panas di piring saji.

"Iya, Bu..jadwal terapinya sudah di terima kan? Iya,Bu..kami pake terapi ABA!"

Mungkin dia berbincang dengan orang tua salah satu anak yang menjalani terapi di tempatnya.

Saya menghela napas, sebenarnya saya ingin Arini berhenti bekerja. Saya tidak suka dengan resiko pekerjaan dia. Kadang di banting anak yang di terapi. Bahkan cadarnya pernah di buka paksa saya pernah melihatnya. Bagaimana bila ada pria di sana? Dan saya juga tidak suka dia aktif di Rumah Lentera ataupun komunitas ODHA. Sarat resiko.

"Semua kerjaan ada resikonya, Kak. Kakak mau aku minta berhenti kerja hanya karena kakak kena muntahan pasien atau takut kena penyakit menular?"

Itulah Arini, sulit meyakinkan dia. Saya hanya mendengarkan dia yang sibuk menjelaskan terapi apa saja yang akan di terapkan. Menjawab pertanyaan kliennya.

"Iya, Bu. Kita pakai terapi fisik atau fisioterapi, untuk melatih kemampuan motoriknya dulu..."

Arini terus menjelaskan, sambil menuang adonan pancake terakhirnya di atas pan. Membereskan perabot kotor. Suaranya khas saat bertumpukan di westafel dapur.

Terus menjelaskan tentang terapi bermain yang akan membantu bersosialisasi. Terapi visual dan...

"Kaak..! Sepatuu?"

Radit setengah berbisik. Arini menjawab sambil menunjuk dekat sofa ruang tengah. Radit menuju ke arah sana. Memakainya sambil mengatakan pada mbak Ningsih bahwa ia mau pancake saja. Sama seperti saya. Masakan mbak Ningsih hanya di makan bunda pagi ini.

"Mau selai apa? Sama kayak mas Arka?"

Radit mengangguk, Arini memberi toping selei kaya. Produk Singapura itu jadi faforite kami. Jika habis Olivia akan mengirimnya.

"Aku bawa Bak Kwa sama Garret Popcorn, Kak." ucap Radit, Arini meminta mbak Ningsih menyiapkannya. Karena kini Arini sibuk menyuapi saya pancake. Tangan saya masih sibuk mengetik. Dulu, awal-awal mbak Ningsih bekerja di sini saya malu dan risih. Tapi sekarang sudah terbiasa.

ⓂⒺⓃⒹⒶⓀⒾ ⓀⒶⓀⒾ ⓁⒶⓃⒼⒾⓉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang