37. The Truth Untold (part 2)

16 6 0
                                    

Trigger Warning: talking about body shaming, talking about self harm.

*******

Semua mata tertuju pada wajah Ken. Semuanya tegang, menunggu cerita Ken selanjutnya.

“Aku sampai udah lupa namanya siapa saking aku gak mau lagi berurusan sama orang itu,” ungkap Ken menggetarkan seluruh tubuhnya jijik. “Rae pertama kali pacaran sama dia. Awalnya aku pikir dia orang baik yang mau terima Rae apa adanya, ternyata aku gagal lagi ngelindungin adik aku sendiri.” 

“Mulutnya tuh halus banget, bisa ngerayu kami semua, dia sampai ngehasut Rae juga. Aku aja baru tahu sikap bejatnya setelah Rae putus sama dia.”

“Mungkin karna Rae yang jarang ngerasain gimana rasanya cinta jadi gak tahu gimana rasanya, dia pikir yang cowok itu kasih ke dia itu rasa sayang, padahal bukan.” Ken menggelengkan kepalanya. “Dia manfaatin Rae, dia yang bikin Rae insecure sama tubuhnya, sama wajahnya, sama fisiknya, sampai Rae bisa berhari-hari gak makan supaya kurus kayak sekarang.” 

“Dia diet buat cowok itu, dia perawatan buat cowok itu, dia bela-belain olahraga sampai mukanya pucet banget buat cowok itu. Cowok itu selalu bilang kalau dia malu bawa Rae ke keluarganya karna setelannya yang dekil lah, badannya yang gemuk lah, rambutnya yang berantakan, pokoknya toxic aja.”

Jimin mengepalkan tangannya yang mungil erat-erat. Taehyung menyipitkan kedua matanya, alisnya yang tebal bertaut memperlihatkan wajahnya yang penuh kebencian. Seokjin melipatkan kedua lengannya di depan dadanya, menahan emosinya.

“Lama banget mereka pacaran dan aku pikir Rae baik-baik aja, malah aku sempet mikir kalau Rae sekarang berubah jadi lebih baik karna cowoknya ini. Sampai akhirnya, saat Rae udah sesuai dengan tipe yang cowok ini suka, dia man.. dia manfaatin tubuh Rae..” Suara Ken sekarang bergetar menahan emosinya. Sedih, kesal, kecewa, semuanya menjadi satu.

“Dia suruh Rae pakai pakaian sexy dan pamerin Rae ke temen-temennya, dia.. dia bawa Rae pergi gak tahu ke mana sampai Rae gak pulang berhari-hari, dan kejadiannya sering. Kadang Rae pulang dalam keadaan mabuk, kadang dalam keadaan gak sadar diri, kadang…” Suara Ken habis, tenggorokannya kering.

Dia menarik nafasnya dalam. Seokjin yang memahami perasaan sahabatnya mengelus punggung Ken pelan, meyakinkannya kalau dia akan selalu berada di sampingnya.

Ken menelan ludahnya kemudian mengambil kaleng beer yang dia taruh di atas meja kopi di hadapan mereka. Dia meneguknya dengan cepat sebelum meneruskan kembali ceritanya.

“Rae udah bukan Rae yang kami kenal, dia sering ngelawan ibu, dia sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, dia sering pergi dari rumah.”

“Dulu aku pernah cerita sama kamu kan kalau adik aku itu nyebelin banget? Setiap hari aku selalu berantem sama dia,” kata Ken kepada Seokjin yang dibalasnya dengan anggukan pelan. 

Seokjin sering mendengar cerita dari Ken kalau dia sering bertengkar dengan adiknya, tetapi dia pikir pertengkaran itu merupakan pertengkaran seorang kakak dan adik pada umumnya. Setelah Seokjin bertemu dengan Rae, dia tidak melihat sedikitpun karakter yang diceritakan oleh Ken ada padanya, tetapi itu juga disebabkan Seokjin yang bertemu dengan Rae saat dia sudah mulai kuliah, bukan SMA.

“Gara-gara sikapnya itu juga yang bikin ibu langsung bawa dia ke psikolog, dari situlah semuanya mulai terungkap pelan-pelan. Rae mulai cerita semuanya ke aku sama ibu. Ibu nangis berhari-hari, sementara aku cuman bisa diem aja, kaget,” lanjutnya pelan, pelan sekali sampai rasanya hanya dia yang bisa mendengar suaranya sendiri.

Jarang sekali Seokjin melihat sahabatnya murung, dia masih bertanya-tanya kenapa Ken tidak pernah menceritakan kesedihannya ini kepadanya. “Jangan nyalahin diri kamu sendiri Ken,” ungkap Seokjin. “Kenapa kamu gak cerita sama aku?”

7 Men in Her LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang