[Year 5] Chapter 3. Sebuah Perubahan

1.6K 268 49
                                    

Mereka menghabiskan sisa perjalanan di kereta api dengan mengobrol kaku satu sama lain, apalagi Longbottom dan gadis beranting lobak, yang ternyata bernama Luna Lovegood. Draco tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan gadis itu. Walaupun dia tidak terlihat waras, belum lagi sikapnya yang seperti tak punya sopan santun (tapi tentu saja masih lebih baik daripada si Weasley), dia terlihat sama sekali tidak berbahaya. Tambahannya, semua apa yang dia katakan terdengar begitu tidak masuk akal tapi juga menggelikan. Jadi untuk sekarang, Draco menahan dirinya untuk tidak menyimpulkan apa-apa.

Ketika mereka sudah tiba di Stasiun Hogsmeade, Hermione melompat dengan semangat sebelum mengumumkan, “Kami harus duluan untuk mengawasi yang lain! Maaf, Harry, kamu bisa kami titipi barang-barang kami, kan?”

Draco melirik ke arah Harry, segera menyadari bahwa raut wajahnya menjadi sedikit sedih karena menjadi satu-satunya yang ditinggalkan. Hal itu membuat Draco buru-buru menyahut, “Dia bisa ikut dengan kita bukannya?”

“Tapi kan dia bukan Prefek,” Hermione mengingatkan, tampak kaget dengan kata-kata Draco.

“Terus kenapa?” Draco mengedikkan bahu sambil bangkit. “Tidak ada peraturan yang melarang siswa lain untuk menemani Prefek menjalankan tugasnya kok.”

“Tapi barang-barang kita bagaimana…” Hermione menggigit bibirnya.

“Serius deh, Hermione,” Draco mendengus. “Aku tahu kamu keturunan Muggle, tapi kadang konyol sekali saat kamu lupa bahwa sihir bisa membantu kita dalam banyak hal.” Dan setelah berkata begitu, Draco langsung melempar mantra pada kopernya serta kandang Aquila, membuat semua barang-barangnya melayang di udara lalu mengikutinya. “Nah, sekarang mau alasan apa lagi?” tanyanya, membuat Hermione menyerah.

Pipi Hermione memerah karena malu, lalu menggumamkan mantra untuk mengikuti Draco dalam membawa barang-barangnya, raut wajahnya juga sedikit kesal. Sedangkan Harry, dia tampak begitu berterima kasih dan tanpa kata mengikuti Draco keluar dari kereta.

“Tadi aku sudah bilang belum ya kalau aku kangen kamu?” tanya Harry lagi saat mereka berdua sudah di luar kereta, Draco tanpa kata memberi arahan pada anak kelas tiga untuk segera menuju kereta tarik. “Tidak ada yang berani melawan Hermione selain kamu.”

Draco tertawa mendengarnya. “Senang deh bisa membantu—hei, kamu! Anak Hufflepuff rambut pirang! Sembunyikan yang kamu pegang sebelum ketahuan Filch!—Omong-omong, Harry,” Draco melirik sekilas ke arah Hermione dan Weasley yang tengah mendisiplinkan segerombol anak Gryffindor. “Kok bisa Weasley yang dapat lencana Prefek dan bukannya kamu?”

Harry mengatupkan bibirnya, pipinya sedikit memerah. “Jangan begitu, Ron kan—”

“Benar-benar tidak kompeten untuk jadi Prefek, jangan pura-pura tidak tahu,” potong Draco. “Jangan beraninya bilang bahwa kamu tidak pernah berpikir bahwa seharusnya kamu yang jadi Prefek. Aku tahu kamu begitu baik dan tidak mementingkan diri sendiri, tapi Harry, semua itu pasti ada batasnya.”

“Iya deh,” Harry mengakui, iris hijaunya bertemu dengan milik Draco. “Memang aku sempat merasa kesal waktu tahu aku bukan Prefek.”

“Dan kamu punya hak untuk merasa kesal,” rahang Draco mengeras. “Kamu sudah melakukan banyak hal untuk sekolah ini, tapi sekarang kamu malah diperlakukan seperti ini? Benar-benar tidak adil.”

“Aku benar-benar kangen kamu, tahu,” Harry terkekeh, lalu menyeringai lebar. “Cuma kamu satu-satunya orang yang bisa kuceritakan macam-macam tanpa aku harus berbohong atau merasa kesal. Akhir-akhir ini Hermione dan Ron tuh terlalu…” Harry tidak menyelesaikan kalimatnya, namun Draco tahu apa maksudnya.

“Sepertinya tidak mudah bagi mereka untuk merahasiakan semua itu dari kita,” Draco menghela napas berat. “Dan aku paham kenapa mereka melakukannya, tapi aku tidak yakin mereka mengerti bagaimana beratnya di posisimu.”

Do It All Over Again (INA Trans)Where stories live. Discover now