01- Masalalu kelam

5K 398 54
                                    


"Sakit itu yang membuatku bangkit, sakit itu yang membuatku menjadi jahat."

-Kalopshia

===

pov 1

Dari SD, hingga SMP. Aku bukan murid yang aktif, aku terbilang introvert (tidak mudah bergaul pada seseorang, bahkan tak pernah mempunyai teman apalagi cowok).

Aku bukan gadis nakal seperti teman-temanku yang selalu minum, merokok, bermain dengan lelaki, bahkan melakukan hal diluar peraturan sekolah. Padahal mereka perempuan 'kan? Menurutku aneh melakukan hal yang belum waktunya dan masih belum cukup umur.

Waktu kelas 7 SMP, aku adalah korban bullying. Aku seringkali dihina karena fisiku kurang. Aku jelek, cupu, tidak gaul, bahkan aku selalu menyendiri. Aku tidak menyukai keramaian, seringkali rasa takut itu kembali menghantui saat melihat segerombolan cowok selalu berkumpul di belakang kelasku.

Aku selalu menjaga diriku, menjaga pandanganku saat bertemu laki-laki. Aku selalu menundukan wajah saat berjalan. Malu? Aku tidak malu, tapi aku takut melihat tatapan jijik mereka saat melihat wajahku.

Sejelek itukah aku? Haha, sungguh masalalu yang kelam.

Bahkan ada satu hal yang benar-benar masih kuingat, dan hal yang paling sakit hingga saat ini.

Ulangan mapel PPKN berjalan dengan lancar, aku yang selalu berambisi untuk mendapat nilai besar waktu itu belajar dengan sungguh-sungguh. Aku selalu menghafal materi yang sepertinya akan muncul.

Ulangan berjalan dengan lancar, guru mapel PPKN sedang mengkoreksi hasil ulangan kami. Aku hanya terduduk diam, menyaksikan teman-temanku yang bercanda, bahkan dengan mudahnya mereka mengobrol. Semudah itu 'ya? Kenapa selalu aku yang dipandang buruk? Kenapa aku selalu jadi orang yang tidak pernah dianggap ada, bahkan dikelasku.

Guru itu—sebut saja pak Hari (guru PPKN) membagikan hasil ulangan kami.

Aku kaget saat melihat hasil ulangan itu, nilai yang benar-benar tak ku duga.

Aku mendapat nilai 100? Padahal aku tidak menyontek, hah ini serius? Aku tersenyum bangga.

Saat aku masih diam, seorang cowok mendatangiku lalu menarik kerudung, hingga rambutku terlihat. Lalu ia merobek kertas ulanganku menjadi dua. Aku hanya terdiam menatapnya dengan mata yang mulai memanas menahan untuk tidak menangis.

"Heh cupu! Sok-sokan banget lo paling cuma dapet nilai segitu. Udah cupu, ga punya bapak hahaha," ucapnya, lalu pergi.

Aku memungut kertas yang tergeletak di lantai, lalu kembali duduk.

Aku menunduk, mencoba untuk kuat. Mencoba untuk tidak menangis. Tapi rasanya sakit, benar-benar dunia tidak adil. Mangapa aku lagi? Mengapa tak ada satupun yang membelaku? Rasanya ingin menyerah saja.

Bahkan teman sekelasku hanya diam, hanya ada satu—teman yang duduk sebangku denganku.

"Kamu gapapa?" tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Gapapa, kok."

Sudah jadi makanan sehari-sehari, bahkan aku selalu takut untuk berangkat ke sekolah. Tidak sekolah-pun aku selalu takut dirumah. Aku takut mendengar suara itu saat dirumah, aku takut kata-kata itu menyakitiku lagi.

Rasanya dirumah dan sekolah sama saja, seperti neraka.

Aku selalu berusaha untuk jadi yang terbaik, aku selalu belajar dengan giat. Menuruti tuntutan dari orangtua, menuruti apapun yang mereka katakan. Bahkan aku tak peduli dengan diriku sendiri. Sekalipun aku sering sakit karena kelelahan.

Kalopshia'sWhere stories live. Discover now