Bagian dua puluh tujuh

12 0 0
                                    

Entahlah, ini bisa dikatakan akhir atau pun bukan.

***

Langit sore kali ini terlihat sangat cantik. Warna jingganya yang berpadu dengan langit biru membuat hati tenang melihatnya.

Ananta menatap senja dengan terpaan angin sungai yang indah. Banyak para pengunjung yang berkeliaran di sana. Ananta duduk sendirian dengan matanya yang tak pernah lepas dari sungai.

Sudah kurang lebih dua Minggu hubungannya dengan Dimo yang tidak kunjung membaik. Keduanya sama-sama menaruh ego masing-masing.

Sebenarnya sudah beberapa pesan yang dari Dimo yang tidak kunjung Ananta balas dan juga telepon yak sudah ratusan kali masuk. Hingga akhirnya dua hari ini lelaki itu tidak lagi mengirimkannya pesan, mungkin sudah capek.

Tangan Ananta pun sebenarnya sudah gatal ingin membalas pesan tersebut. Namun, dia sudah bertekad untuk tidak boleh luluh hanya karena pesan itu. Lelaki itu hanya mengiriminya pesan tidak berniat untuk pergi menemuinya.

"Nggak, nggak boleh. Gue harus bisa nahan diri!"

Ananta memutuskan untuk pergi beranjak dari sana dan memilih untuk pergi ke pusat perbelanjaan yang berada di tengah-tengah kota.

Tidak perlu memakan waktu lama, Ananta telah tiba di sana. Setelah ia memarkirkan motornya, ia pun masuk dan berjalan menuju eskalator. Tujuan pertamanya adalah ke toko buku, mungkin dengan mencari-cari buku baru ia bisa mengalihkan pikirannya ke hal itu.

Ananta berjalan menelusuri rak-rak buku untuk mencari buku yang menarik perhatiannya. Dan tatapannya pun jatuh ke salah satu buku yang penulisnya cukup terkenal. Setelah melihat-lihat, Ananta pun memutuskan untuk membayarnya.

"Emm ... lapar, beli makan dulu kali, ya."

Ananta berjalan menuju salah satu outlet junkfood. Setelah beberapa saat mengantri, ia pun mendapat pesanannya dan berjalan mencari tempat duduk. Ia memilih duduk di dekat jendela yang memperlihatkan suasana jalanan di luar sana.

"Nata?" ucap seseorang dengan ragu-ragu.

Ananta yang tengah memakan makanannya menoleh ke sumber suara.

"Kak Angger," ujar Ananta.

"Wah hal yang kebetulan kita bertemu di sini," ujar Angger.

Ananta hanya terkekeh kecil sebagai jawabannya.

"Boleh gue duduk di sini?" tanya Angger menunjuk kursi kosong di depan Ananta.

"Tentu saja," jawab Ananta.

Angger pun duduk dan menikmati makanannya. Sesekali ia mengajak Ananta mengobrol.

"Kok lo sendirian di sini? Dimo mana?" tanya Angger dengan raut bingung pasalnya ia hanya melihat Ananta sendiri sedari tadi.

"Dia---dia lagi di rumahnya mungkin, Kak. Gue emang sengaja mau jalan-jalan sendirian, hehe," ujar Ananta dengan sedikit gugup.

Angger hanya mengangguk saja, dia tahu ada yang disembunyikan oleh Ananta tetapi dia juga tidak ingin memperpanjang karena takut gadis itu tidak nyaman.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Ananta.

***

"Dim, jalan-jalan yok, gue bosen, nih!" Yuan merengek dengan Dimo. Tangannya sudah bergelayut dengan manja di lengan Dimo.

Dimo hanya mengangguk saja atas permintaan gadis itu. Dia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja hari ini karena sang kekasih yang tidak berkabar sampai sekarang.

Daun Gugur {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang