Kamu cantik!
Sepanjang jalan menuju ke rumah orang tuanya, mulutnya tetap terkunci tanpa mempedulikan sang kakak yang tak mengalihkan pandangan semenjak keluar dari Mall. Dio, keponakannya sudah terlalu asik mengamati hadiah dari pria yang beberapa saat lalu membuatnya shock dengan kelakuannya.
“Kalau mau tanya, tanya aja. Enggak perlu nunggu aku cerita. Kamu, kan tahu aku enggak bakalan cerita apa-apa!” katanya tanpa melirik Lala—kakak perempuan Ananta—yang masih setia menunggunya bercerita.
“Percuma, aku enggak bakalan cerita!” Sekali lagi Ananta meyakinkan Lala, tapi perempuan berbadan dua itu tak segera menyerah. Masih dengan posisi yang sama, melipat tangan di depan dada, bersandar di sandaran jok dengan mata yang hanya tertuju di satu titik. “Mbak! Udah, lah!”
Perempuan yang usianya terpaut lima tahun tersebut masih menanti dengan sabar, “Makanya cerita!” perintah kakaknya.
Ananta menulikan telinga dan tetap berkonsentrasi membawa mobil melewati keramaian jalan di akhir pekan. Terlebih lagi ketika sudah sampai di jalan Hr Muhammad, ketika arah menuju PTC semakin ramai. Ia harus sabar menekan pedal kopling ketika mobil hanya bisa maju perlahan-lahan. Kegusaran karena kelakuaan Rizky, macet yang seolah tak terurai dan juga tatapan penuh curiga Lala, membuatnya semakin tidak sabaran. “Tanya aja, ntar kalau aku mood, ya, aku jawab.” Ia menyerah. Entah karena ia memang ingin menceritakan kegusaran hatinya, atau terdorong oleh macet yang berhasil membuatnya ingin menceritakan pada Lala.
“Itu pacarmu?” tanpa membuka mulut, Ananta hanya menggeleng menjawab pertanyaan pertama Lala.
“Gebetan baru?” pertanyaan kedua pun hanya ia jawab dengan gelengan kepala. Karena Rizky memang bukan pacar ataupun gebetan baru baginya.
“Dia udah punya pacar?” sekali lagi ia hanya menggeleng untuk menjawabnya, karena setahu Ananta, Rizky belum memiliki kekasih.
Ia masih bisa mengingat dengan jelas liburan singkat mereka di kota Yogya. Perlakuan manis dan lembut Rizky padanya ketika resepsi Aan membuat siapapun akan salah sangka pada kedekatan keduanya. Pria itu dengan santai menggenggam tangannya, memperlakukannya seperti seorang kekasih. Bahkan memperhatikan ketidaknyamanannya ketika terlalu lama memakai sepatu berhak tinggi.
Ditambah dengan kebodohannya memanggil pria itu dengan Eky, panggilan yang hanya digunakan oleh keluarga, menurut pengakuan Rizky dan juga Tara. Namun, ketika melihat pria itu tidak keberatan dengan kesalahan sebut itu, ada sedikit rasa bangga atau perasaan diistimewakan memasuki hatinya.
“Kenapa enggak pacaran aja sama dia?” Ananta membeliak mendengar pertanyaan Lala yang berhasil membawanya kembali dari lamunan. Ia melirik kakaknya yang memandangnya dengan curiga. “Atau sebenarnya kamu sudah mulai naksir, tapi cowok tadi enggak tahu? Atau bahkan sebenarnya kamu enggak sadar kalau sudah menjatuhkan hati pada pria dengan senyum menawan itu?”
Satu hal yang membuatnya malas untuk bercerita pada Lala adalah, perempuan itu selalu memiliki teori untuk segala hal. Situasi apapun, kakak perempuannya itu selalu memiliki kalimat yang mampu menjebaknya hingga tanpa disadarinya, semua cerita yang dipendam akan terkuak.
“Enggak usah ngayal, apa lagi mancing-mancing gitu, Mbak!” Tawa segera pecah tak lama setelah Ananta menutup mulutnya. Lala yang telah memiliki teori di dalam kepalanya, memilih untuk menutup mulut. Karena kakak Ananta itu mengetahui cerita cinta terakhir adiknya, yang berhasil perempuan itu berubah.
“Tapi Mbak pengen kamu tahu, kalau Mbak setuju sama yang ini.” Dengan malas ia melirik kakaknya yang meringis menunjukkan jajaran gigi rapi hasil perawatan suaminya sendiri. “Kamu bisa cerita sama Mbak, kapanpun kamu siap.”
“Halah, alasanmu setuju karena ada satu orang lagi yang bisa kamu palakin mainan Dio yang harganya mahal-maahal, kan?!”
“Nah, itu tahu!” jawab Lala masih dengan senyum di bibir memandang ke arahnya. Meski ia tahu, bukan itu yang dimaksud sang kakak. Namun demi untuk mengalihkan perhatian Lala terhadap kehidupan cintanya yang tidak menunjukkan adanya perubahan, Ananta tidak berencana untuk merubah kalimat jawabannya.
Saat ini ia tidak ingin berharap terlalu banyak pada siapapun kecuali pada Allah. Karena ia pernah melakukan kesalahan dengan berharap pada seorang pria yang tidak tulus mencintainya.
“Heh! Jangan mikir bajingan satu itu. Rugi banget, mendingan mikir laki yang enggak segan keluar duit buat calon keponakannya. Itu pria baik.”
Pembicaraan tentang Rizky berhenti ketika mobilnya berhenti tepat di depan rumah sang kakak yang hanya berjarak beberapa rumah dengan kedua orang tuanya. Terlihat beberapa pekerja memasuki pintu garasi sambil membawa meja dan kursi persiapan pesta ulang tahun Dio yang ketujuh. “Udah rame, Mbak?”
“Iya, tadi papanya Dio udah kabari kalau persiapan sudah kelar. Pihak katering juga sudah hampir selesai. Kamu pulang, mandi, chat pria tadi, baru balik kesini!” perintah Lala dengan nada geli membuatnya melotot ke arah perempuan yang terlihat kesulitan untuk menuruni mobil Ananta. “Besok lagi kalau kamu anterin Mbak, pakai mobil Papa aja, deh, Na!”
Ananta yang tidak sepenuhnya memperhatikan kalimat kakaknya hanya tersenyum dan melambaikan tangan setelah Lala menutup pintu mobil. Ia masih belum sepenuhnya kembali dari lamunannya tentang Rizky dan kelakuan nekatnya. Karena selama mengenal pria berkacamata tersebut, sifat easy going-nya terkadang sulit bagi siapapun untuk menentukan apakah dia bercanda atau serius.
Saat ini, ia takut untuk mencari tahu. Teriakan itu bagian dari sisi bercanda ataukah sisi serius seorang Rizky Anggara Birowo. Ia belum siap untuk mencari tahu, tapi saat ini hatinya berpacu kencang setiap kali ia mengingat ekspresi pria itu ketika mengatakan dia cantik.
Menuruti perintah Lala, ia mengambil ponsel dan membuka jendela percakapannya bersama Rizky.
Makasih hadiahnya, Mas. Dio suka banget.
Tidak memerlukan waktu lama, centang itu berubah biru dan Rizky. A. Birowo is typing terlihat di pojok kiri atas dari jendela percakapan keduanya. Jantung Ananta bertalu semakin kencang.
Rizky. A. Birowo
Alhamdulillah, tadi sempat ragu memilih itu atau yang lainnya.Sebelum ia kehilangan nyali, jarinya dengan segera mengetikkan pertanyaan yang semenjak siang tadi bergelayut di kepalanya. Ia tak bisa begitu saja menghapus senyum Rizky padanya, bahkan ia masih bisa mengingat binar di wajah pria yang terlihat ganteng.
Mas, boleh tanya sesuatu, enggak?
Kenapa tadi pakai teriak-teriak gitu? Sepanjang jalan Lala interogasi aku.Rizky. A. Birowo
Aku hanya jujur bilang kamu cantik. Nanti kalau teriak aku kangen, pasti kamu lari.Iyalah, lari ngejauhin kamu, Mas!
Rizky. A. Birowo
Yakin? Bukannya lari mendekat?Ibu jarinya terhenti di udara. Semua kalimat yang siap ia ketik, menghilang dalam sekejap. Ia tahu Rizky terkadang melemparkan kalimat yang ambigu, tapi selama ini pria itu tak pernah dengan jelas menunjukkan ketertarikannya seperti saat ini. Karena ia takut dengan jawabannya yang akan dibaca selanjutnya, Ananta sengaja mematikan telepon. “Demi ketenangan jantungku!” katanya ke arah cermin dengan tekad bulat.
Selama baca Mas Sky
😘😘😘
Shofie

YOU ARE READING
Bisa Karena Terbiasa
RomanceVersion terbaru dari perjalanan Rizky-Ananta Menikah bukan karena saling mencintai atau karena desakan nikah dari orang tua. Juga bukan karena nikah kontrak, tapi karena berpedoman "kita bisa karena terbiasa" Rizky Anggara Putra, "Nikah, yuk!" Anant...