18

11.6K 2.2K 154
                                    

Tulisan ini milik Galuh Cahya, bukan yang lain.

Pertemuan dengan Alan sebenarnya tidak terlalu menyebalkan. Tahu, ‘kan? Dia “nggak aneh”. Saat aku bilang “nggak aneh” itu artinya dia berlaku normal, sopan, dan tidak cari kesempatan sepanjang interaksi. Oke, ada satu yang perlu mendapat perhatian khusus. Ketika dia menawariku mengintip ABS miliknya. Hmmm boleh juga. But eiiiits nanti dulu. Enggak bisa sekarang. Bisa saja dia cuma tipu-tipu saja alias sesumbar. Persis monyet yang hendak berlagak di depan calon pasangan. Meh aku tidak semudah itu, ya.

“Kamu yakin nggak pengin minta sesuatu?” Alan menawarkan.

Sekarang kami berada di mobil. Alan berkeras mengantarku pulang. Tidak peduli tanggapan orang rumah, terutama Adam, terkait kehadirannya di antara Klein. Yeah aku pun tidak bangga menjadi Klein. Harta tak dapat. Sekadar menduduki posisi kambing hitam. Hmmm enggak elok sama sekali.

“Bisa kasih saham Montez?”

Kelakar muncul begitu saja dari bibir. Tidak bisa ditahan. Apalagi diganggu gugat. Barangkali itu termasuk mekanisme pertahanan diri milikku sedari dulu. Bahkan setelah pindah raga pun tetap sama; bandel, bandel, dasar bandel dan sulit mendapat pengarahan.

“Itu bisa terjadi,” Alan menanggapi sembari melempar kedipan penuh makna. “Kalau kamu tergabung sebagai Montez, Laura.”

“Hmmm,” senandungku sembari mengetukkan telunjuk ke dagu. “Laura Montez. Tidak buruk.”

Alan terbahak sampai pipinya memerah. “Kamu memang memiliki optimisme berlebih, ya? Baru pertama ini aku berjumpa cewek yang nggak sungkan berlagak kocak.”

“Sebenarnya aku sama sekali nggak tertarik menjadi bagian Montez maupun Klein,” aku mengaku, jujur, tidak lagi menampilkan kekonyolan ketika berucap. “Kamu pasti lebih mengerti daripada aku beratnya menempa pendidikan demi meneruskan bisnis keluarga. Sebagai salah satu anggota masyarakat kapitalis, aku justru tidak memiliki kemampuan menganalisa data apa pun.” Aku mengetuk pelan pelipis. Tuk, tuk, tuk. “Cuma insting bertahan hidup saja yang berhasil membawaku menyingkir dari arus.”

Itu memang benar. Hei! Benar!

Sekalipun aku lulusan salah satu kampus yang cukup terpandang di kotaku, tetapi kenyataannya pencapaianku biasa saja. Aku tidak bisa menjadi pegawai bank, tidak betah mengajar siapa pun, dan terlalu liar untuk mengemban amanat perusahaan. Istilahnya, aku manusia tidak berguna. Barangkali inilah yang coba Yozo ungkap dalam novel karangan Dazai. Ketidakbergunaan. Kehampaan. Kehilangan fungsi sebagai manusia. Namun, kemungkinan memang banyak manusia yang mengalami fase demikian; terjerat lilitan tuntutan masyarakat, terhimpit desakan keluarga, dan terpaksa memutilasi identitas sejati agar bisa diterima oleh masyarakat.

Berat benar hidup sebagai manusia.

“Kadang aku berpikir tidak layak menjadi manusia,” ujarku sembari menuliskan nama Laura di kaca jendela. Untuk saat ini aku tidak sanggup menatap Alan. Seolah ada panah-panah tak kasatmata siap ditembakkan Alan karena mendengar pengakuanku. “Terlalu kerdil dan lemah.”

Cahaya senja membasuh dunia dengan nuansa muram. Orang-orang sibuk berjuang demi mempertahankan eksistensi masing-masing. Bergerak melawan badai. Badai yang selalu mengamuk dan menuntut tumbal.

“Laura,” Alan memanggil. “Kamu nggak kerdil.”

“Apa ini sebentuk rayuan?” Kali ini aku berani memalingkan wajah, menatap langsung ke wajah Alan yang tengah fokus ke jalanan.

“Kalau itu maumu,” sambutnya dengan cengiran lebar. “Aku pikir kamu normal bila merasa tidak berdaya. Semua orang pasti pernah berada di titik terbawah dalam hidup mereka. Tidak ada yang bisa menerka masalah seseorang hanya berdasar dari sekilas pandang. Karena itulah, kita diajari oleh orang bijak agar tidak gemar membandingkan masalah pribadi dengan masalah milik orang lain.”

Lady Antagonis (TAMAT)Where stories live. Discover now