Desember 2019

9 4 1
                                    

Dengan wajah memerah, mata melotot, tangan berkacak pinggang, dan suaranya yang menggelegar, Pak Gultom habis-habisan memarahi Adnan ketika mendapat kabar jika Adnan kembali memukuli anak kelas sepuluh yang merupakan adik kelasnya. Parahnya lagi, Pak Gultom tidak pernah mau mendengarkan penjelasan Adnan sedikitpun. Entah karakternya yang keras kepala atau akibat Adnan terlalu sering membuat keributan?

Untung saja Nina keburu datang ke ruang kepsek.

"Adnan gak bersalah, Pak." Suara Nina lantang. 

"Maksudnya?" Pak Gultom langsung mengarahkan fokusnya ke arah Nina yang baru saja masuk ke ruangannya.

"Saya liat kejadiannya."

Adnan tercengang mendengar ucapan gadis cantik yang baru saja masuk.

"Yang salah itu Hada," lanjut Nina sambil menunjuk ke arah Hada yang tengah berdiri di samping Adnan dengan posisi
menunduk. 

Mendengar ucapan Nina, Pak Gultom langsung bertanya kepada Hada, "Apa benar itu, Hada?" 

Hada langsung mengangkat kepalanya dan berkata, "Nggak, Pak. Dia bohong. Jelas-jelas saya yang jadi korban. Bapak liat aja muka saya boyok gini."

Nina makin geram mendengar pembelaan Hada. Sedangkan Adnan terlihat sangat santai. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, kepala sedikit dimiringkan, dan ekspresi wajah yang terkesan biasa saja. Sepertinya tidak ada masalah apapun.

"Ya iyalah boyok. Kalo lo gak digituin, lo bakal terus-terusan malakin murid di sini."

"Maksud kamu apa Nina?" Pak Gultom kembali bertanya kepada Nina atas ucapannya barusan.

"Jadi gini, Pak. Tadi pas saya lewat gudang, saya gak sengaja denger orang ribut-ribut. Karena penasaran, saya coba liat. Ternyata Adnan lagi belain Fikri yang sedang dipalak Hada. Awalnya Adnan ngomong baik-baik. Terus minta Hada balikin uang Fikri. Tapi Hada malah nyolot. Akhirnya Adnan melayangkan tangannya," jelas Nina sambil sesekali melirik ke arah Hada dan Fikri.

"Apa betul itu, Fikri?" tanya Pak Gultom kepada Fikri untuk memastikan kebenaran akan omongan Nina.

"Ngomong aja, Fik. Nggak usah takut. Kalo kamu takut, tiap hari uang kamu raib. Bukan cuma kamu, tapi beberapa anak di sini juga kemungkinan besar jadi korban dia." Nina kembali bersuara memberi semangat kepada Fikri untuk mengungkapkan kebenaran.

"I-iya, Pak. Apa yang dikatakan Kak Nina emang benar. Tadi Kak Adnan belain saya," jelas Fikri dengan suara sedikit bergetar dan kepala tetap menunduk.

"Kenapa gak ngomong dari tadi?" seru Pak Gultom dengan logat khasnya.

"Ma-maaf, Pak."

"Gimana mau ngomong, orang Bapak nyeroscos terus," sindir Adnan tanpa melihat lawan bicaranya. " Makanya, Pak. Kalo ada orang yang mau ngomong itu dengerin. Jangan mentang-mentang saya sering masuk ke sini dan Bapak langsung menyimpulkan saya lah yang bersalah. Emangnya sejelek itu saya di mata Bapak? Elu juga, Fik. Bukannya ngomong dari tadi."

"Diam kamu! Kamu juga tetap salah."

Adnan memutar bola mata mendengar ucapan Pak Gultom. Adnan pun kembali terdiam.

"Baik, Hada. Atas kesaksian Nina, Bapak akan panggil orang tua kamu."

"Karena masalahnya sudah jelas, kamu ...." Pak Gultom menunjuk ke arah Adnan. "Boleh keluar. Tapi ingat! Jangan main pukul kalo ada masalah. Terus kamu ...." Tunjuk Pak Gultom ke arah Nina. "Kamu juga boleh keluar. Dan terima kasih untuk kesaksiannya."

"Kalau begitu saya permisi dulu, ya, Pak."

"Saya juga," ucap Adnan yang langsung keluar dari ruangan tersebut tanpa basa-basi.

"Impas," ucap Adnan tiba-tiba saat mereka–Nina dan Adnan sudah berada di luar ruangan.

"Apa yang impas?" tanya Nina bingung. Namun belum juga mendapat jawaban, Adnan sudah pergi meninggalkannya.

"Heh! Harusnya lo berterima kasih sama gue. Berkat gue, lo bisa lolos dari amukan Pak Gultom," omel Nina sambil berusaha mengimbangi langkah Adnan. "Heh!"

Mendengar omelan serta teriakan Nina, Adnan menghentikan langkahnya.

"Apa? Berterima kasih? Sama lo?" tanya Adnan geram. "Heh! Dengerin omongan gue baik-baik," ucap Adnan dengan muka sedikit dicondongkan ke arah Nina serta jari telunjuk menunjuk ke arah kupingnya. "Buka tuh kuping lebar-lebar. Yang harusnya berterima kasih tuh elo. Berkat gue, reputasi lo sebagai ketua OSIS masih aman. Dan berkat gue juga, lo bisa masuk ke kelas tanpa ejekan karena rok yang lo pakai basah. Paham!"

Setelah mencecar Nina dengan semua fakta-fakta yang ada, Adnan langsung pergi meninggalkan Nina yang masih mematung di tempatnya. Tidak lama kemudian Nina sadar. Lalu mengangkat tangan kanan. "Ini?" Nina melihat apa yang ada di tangannya tersebut. Kemudian mendesah. Setelah itu berlari mengejar Adnan yang sudah cukup jauh.

"Heh! Tunggu!"

"Mau apa lagi?" Adnan kembali menghentikan langkahnya. "Mau berterima kasih? Gak usah. Gue gak butuh ucapan terima kasih dari lo," ucap Adnan dengan posisi membelakangi Nina.

"PD amat, sih, lo," balas Nina dengan nada ketus. "Nih." Nina meraih tangan Adnan. "Switer punya lo. Makasih."

Adnan hanya mengacungkan switernya sebagai jawaban dari ucapan Nina. Lalu pergi tanpa menoleh ke arah belakang sedikitpun. Sedangkan Nina masih berada di tempatnya berdiri memperhatikan langkah Adnan yang semakin menjauh kemudian hilang di antara kerumunan siswa lain.

"Hey!" Nina mengerjap kaget saat kedua sahabatnya tiba-tiba datang dari arah belakang dan langsung menepuk pundaknya kompak.

"Kalian, ya!" pekik Nina kesal sambil mendelikan mata.

"Sorry ...," sahut sahabatnya kompak.

"Liatin apa, sih?" tanya Widi sembari celingukan ke segala arah.

"Nggak, nggak. Udah yuk. Kita kelapangan." Nina segera menyerat kedua sahabatnya tersebut agar kekepoan mereka segera berakhir.

Di tempat lain, tepatnya di belakang gedung sekolah, gengs Adnan sedang berkumpul di tengah kepulan asap rokok. Sesekali mereka tertawa keras. Entah apa yang sedang mereka bahas sampai-sampai mereka tertawa begitu lepas. Kemudian mereka saling senggol sehingga salah satu dari mereka kehilangan keseimbangan yang mengakibatkan orang tersebut tersungkur dan mereka pun kembali tertawa. Namun, seketika tawa mereka terhenti ketika sebuah switer mendarat tepat di kepala Diki yang merupakan anggota gengs tersebut.

"Gimana, Bro. Beres?" tanya Irfan dengan gaya berandalannya. 

"Beres." Setelah menjawab pertanyaan Irfan, Adnan langsung menyambar sebatang rokok yang tengah dipegang Diki. Lalu menyesapnya dengan penuh penghayatan.

Bersambung ....

Jangan lupa baca karya peserta Olimpus Match Battle lainnya, ya!

1. Viloise--@Chimmyolala

2. The Lucky Hunter--@Dhsers

3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn

4. Aku Bisa--@okaarokah6

5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01

6. Is It Our Fate?--@ovianra

7. Crush--@dhalsand

8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa

9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025

10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai








Aku BisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang