» Tiga

18 6 0
                                    

Anggita tampak serius menatap layar komputer di depannya. Mengerjakan beberapa tugas yang diberikan oleh kepala ruangannya, Misnawati. Beberapa arsip berkas harus Anggita bongkar untuk dijadikan laporan bulanan ke kantor pusat. Earphone kecil tetap melekat di telinganya. Kali ini, ia hanya memakai satu earphone saja agar hal sebelumnya tidak terjadi lagi.

"Lagi sibuk ya?"

Anggita tersadar dengan suara itu. Ia langsung menoleh ke arah pintu ruangan dan segera berdiri dari tempat duduknya. "Ehm, iya, Pak, eh Arham," jawabnya gugup.

Arham tersenyum sambil melangkah masuk. Setelah itu, ia duduk di sofa panjang yang memang tersedia di sana agar Anggita bisa istirahat saat jam makan siang. "Emang kamu lagi ngerjain apa?"

"Ehm, lagi buat laporan bulanan, Pak, eh maksud aku Arham," jawab Anggita sambil duduk kembali di kursinya. Anggita benar-benar tidak bisa berbicara dengan lancar di depan Arham. Selalu saja ada yang salah.

Arham terkekeh melihat reaksi Anggita. Wanita itu terlihat imut di mata Arham. "Kamu tuh lucu banget ya. Santai aja loh. Aku nggak gigit kok."

Wajah Anggita mendadak panas karena ucapan Arham. Ditambah lagi suara khas pria itu sangat lembut dan selalu menjadi idaman para wanita. Anggita lantas menggelengkan kepalanya, berusaha membuang hal aneh dalam pikirannya. "Ehm, Arham, jangan sering ke sini ya. Nanti nggak enak dilihat yang lain. Soalnya banyak yang naksir sama kamu, Ar," ucapnya.

"Loh? Kan udah aku bilang tadi, jangan dengerin omongan mereka. Lagian kita ini cuma temenan kok. Mereka aja yang terlalu berlebihan."

"Cuma temenan doang," gumam Anggita sangat pelan.

"Kamu bilang apa?" tanya Arham.

Anggita terkejut dan langsung menggeleng. "Eng-gak bilang apa-apa kok. Kamu salah denger kali."

Arham hanya tersenyum, lalu bangkit dari sofa dan berjalan mendekati Anggita. Ia sedikit membentuk posisi rukuk untuk melihat layar komputer yang ada di depan Anggita. Aroma parfum maskulin milik Arham pun tercium oleh Anggita.

Melihat jarak mereka yang begitu dekat, membuat jantung Anggita ketar-ketir. Takut kalau ada yang melihat dan melaporkan hal ini pada kepala ruangannya. Anggita sendiri berusaha untuk mengendalikan diri agar tidak terpancing dengan hal apapun yang dapat memicu kesalahpahaman.

"Mau aku bantuin?" tanya Arham sambil menatap wajah Anggita dari samping.

Anggita langsung menggeleng. "Eng-gak usah, Ar. Aku bisa kok ngerjain sendiri. Mending kamu balik lagi aja ke ruangan ya."

"Justru aku ke sini karena kerjaan aku udah selesai. Tinggal nunggu tandatangan Kapolsek aja. Berkasnya juga udah ada di ruangannya," ucap Arham santai. "Sini, biar aku bantuin."

"Eh?"

Arham menarik kursi yang lain dan duduk tepat di samping kanan Anggita. Mereka berdua berada di depan layar komputer. Arham bertugas mengetik, sementara Anggita dipaksa untuk membacakan isi laporan dari berkas yang lain. Dengan sangat terpaksa, Anggita menuruti keinginan Arham. Bahkan berkali-kali Anggita salah menyebutkan kata karena terkadang Arham menatapnya begitu intens. Hal itu yang membuatnya hilang konsentrasi.

Saat masih sibuk mengerjakan laporan, tiba-tiba suara deheman seseorang membuyarkan konsentrasi kedua manusia itu. Arham menoleh dengan santai, sementara Anggita tidak. Jantung Anggita sudah sangat meresahkan di dalam sana. Melihat tatapan Misnawati yang begitu tajam, membuat Anggita tak mampu berkutik sedikitpun.

"Arham, kamu ngapain di sini?" tanya Misnawati.

Dengan santai Arham menjawab, "Lagi bantuin Anggit, Bu. Kenapa ya, Bu?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Real? Or Not? (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang