Dua Puluh Empat

369 76 50
                                    

Jeongguk

Ternyata ini rasanya jatuh sakit dan ambruk di atas kasur. Tidak mampu berbuat apa-apa dan cuma sekadar melihat langit-langit. Itu pun mampu membuat kepalanya makin pening. Terlalu banyak yang Jeongguk pikirkan, saat ini. Keselamatan orang-orang Klungkung yang bersikukuh mengamankannya dari daerah lain, beberapa poin perkataan Bambam, saudarinya di Gianyar, Mbok Taeyeon, Rose, dan Jimin. Yang terakhir yang paling membekas. Sejauh ia punya hubungan dengan Jeongyeon, Jeongguk belum pernah merasakan sensasi seintens ini. Terlampau dekat dan ia seakan tidak sengaja mengukir ikatan batin yang terlalu kuat. Jangankan untuk ditarik, disentuh saja pun ia sudah merasakan sakit yang luar biasa.

Untuk keamanan Klungkung, ia masih bisa pastikan kalau kuasanya bisa ia kendalikan. Jeongguk cukup berpengalaman untuk konflik antar daerah dan ia yakin kalau keputusannya kali ini adalah yang paling baik. Untuk dirinya dan untuk Klungkung. Mengingat invasi Majapahit di Bali lalu juga membuatnya bingung. Hampir kalang kabut karena tidak tahu harus bagaimana. Dua-duanya punya niatan baik. Majapahit hendak menyebarkan Hindu ke dataran Bali. Tidak kurang-kurang sampai mengirim beberapa pemuka agama untuk menetap dan mengajarkan nilai-nilai budi luhur untuk masyarakat yang masih terpecah aliran. Dengan baik mereka tuntun tapi Majapahit juga tidak bisa bertahan lama disini. Konflik internalnya membuat Bali jadi lumayan ditinggalkan. Mereka jatuh dan jadilah kesembilan daerah punya kehendaknya masing-masing.

Kalau ia mengesampingkan urusannya dengan Klungkung dan fokus pada Udumbara yang ia cari-cari, mungkin ia tidak bakal sepening ini. Jika saja ia hanya memanfaatkan kemampuan Jimin tanpa jatuh hati padanya, bisa saja Jeongguk tidak perlu merasa meriang dan bersin-bersin. Dingin. Baik ruangan maupun sudut batin. Ia bak bocah kecil yang tidak tahu harus apa di hidup ini. Tanpa petuah-petuah NamJoon dan SeokJin, Jeongguk hilang arah. Sudah terlalu lama ia berjuang sendirian. Tidakkah sang bligung iba melihatnya dari langit? Mengapa mereka tega tinggalkan anak lelaki malang ini seorang diri. Diombang-ambing perasaannya sendiri yang tidak tahu apa mintanya. Apa pula yang dituntutnya pada keadaan.

"Basuki." Suara Rose mendayu di balik pintu. Perempuan itu mungkin ditugaskan mengantar makan siang yang hampir selalu Jeongguk lewatkan. "Please, let me in. I have to tell you something," katanya.

"Come. The doors aren't locked." Jeongguk tidak punya tenaga buat berdiri dan menyambut apa saja yang bakal gadis itu suguhkan. "I'm so sorry, Rose. I have no energy left. You can come. Don't be afraid."

"I don't want to interrupt you, actually. I understand, you have to rest, but.." Langkahnya perlahan-lahan berpijak di atas lantai kayu. Satu nampan memenuhi kedua tangan yang berbalut kebaya panjang ungu tua. Wajah Rose lusuh seperti orang yang kesusahan tidur berhari-hari. Baru kali ini Jeongguk lihat perempuan ini begitu tidak terurus. Seakan lupa kalau ia adalah gadis tercantik yang pernah Jeongguk temui. "I have to tell you this."

"What happened?" Kedua lengan Jeongguk perlahan menyusun tumpukan bantal di balik kepala. Paling tidak, ia bisa dengarkan Rose bercakap dengan teliti. "Ke kayak orang yang belum mandi tiga hari."

"Memang."

Oh, benar ternyata.

"Aku ndak tahu harus bilang ke siapa karena kalau Ajik Taehyung dan Taehyung tahu soal ini, mungkin perang bakal pecah besok, Basuki." Tersirat nada nano-nano di sana. Khawatir, gelisah, takut, dan ragu kalau apa yang ia ucapkan benar atau salah. Rose belum pernah serapuh ini. Baru sekarang Jeongguk saksikan seorang gadis yang gigih melawan pamannya sendiri justru duduk bersimpuh di samping kasurnya. Menggenggam tangan Jeongguk dan ia rapatkan pada kening. "Aku takut," bisiknya lirih.

"Come here." Jeongguk kerahkan sisa tenaga yang ada guna merengkuh tubuh perempuan yang bergetar hebat di sampingnya. Mengusap-usap punggungnya dengan hati-hati supaya Jeongguk tidak menimbulkan panik lain yang berpotensi urungnya penyampaian informasi dari bibirnya. "Pelan-pelan," bisiknya, "satu-satu."

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang