1 - Peringatan Kematian

2 0 0
                                    

Mentari pagi bersinar begitu terik. Langit biru dengan awan putih ikut menghiasi indahnya pagi. Kicauan burung terdengar begitu merdu diiringi kepakan sayap kupu-kupu. Pagi yang cerah, yang juga diharapkan dengan suasana hati yang cerah pula.

Kanaya Benazir Humaira. Banyak orang memanggilnya Kanaya, Nay, atau Humaira. Namun dirinya sendiri lebih suka dipanggil Naya. Nama itu mengingatkan dirinya tentang bagaimana kedua orang tuanya memanggilnya dengan penuh kasih sayang. Panggilan yang kini hanya tersisa sebagai kenangan.

Disinilah dirinya berada. Di depan tempat kedua orang tuanya bersemayam. Matanya memandang sendu ke arah keduanya. Hatinya begitu sakit, juga dadanya yang sesak karena ingin menangis. Namun matanya begitu kering. Sepertinya air matanya sudah terlalu banyak keluar di setiap tahunnya.

"Ayah..."

"Bunda..."

Kanaya tertunduk sendu sembari mencoba menguatkan hatinya. Ia pun berjongkok diantara kedua makam orang tuanya. Tangannya bergerak asal, mencabut rumput-rumput kering diatas keduanya.

"Naya disini, Ayah, Bunda."

Kanaya tersenyum kecil sembari menatap nisan kedua orang tuanya. Ia pun menabur bunga baru diatas makam keduanya. Hatinya merasa sedih karena memori tentang kenangan terakhirnya kembali terputar.

"Gimana kabar Ayah sama Bunda disana? Surga indah 'kan?"

"Naya harap, kalian berada di tempat paling indah yang Allah kasih."

"Naya disini baik-baik aja, Ayah, Bunda. Naya sekarang udah dua puluh tahun, dan udah kuliah dengan nyaman di Universitas yang Naya mau."

"Ayah sama Bunda gak perlu khawatir," tangannya kembali bergerak, mengusap nisan kedua orang tuanya. "Naya gak ngerasa kesepian kok disini. Naya punya teman yang banyak, yang baik, dan selalu perhatian sama Naya."

Naya terdiam sembari mengulum bibirnya. "Tapi Naya bingung, Naya berjuang untuk hidup sampai sekarang buat siapa? Ayah Bunda udah gak ada disini. Ayah sama Bunda gak bisa lihat kalau Naya berusaha banggain Ayah Bunda."

"Rasanya Naya berjuang keras selama ini gak ada artinya."

"Mana mungkin tidak ada artinya."

Kanaya mengernyit ketika sebuah suara tiba-tiba membalas perkataannya. Ia menoleh mendapati laki-laki yang sedang berdiri menatap makam keduanya. Ia bangkit dari duduknya dan menatap laki-laki itu dengan lebih lekat.

"Kamu siapa, ya?"

Laki-laki itu tersenyum tipis tetapi pandangannya tetap sama, tidak memandang sedikitpun pada Kanaya.

"Saya orang yang gak pernah ada di posisi kamu."

Kanaya mengernyit tidak mengerti, "Maksudnya?"

Laki-laki itu menghela napasnya. Ia pun melangkahkan kakinya untuk semakin mendekati makam. Tangannya bergerak menyimpan satu buket bunga pada masing-masing makam.

"Kamu temannya Ayah?" Detik selanjutnya Kanaya menggeleng kecil, "Gak mungkin kalau kamu temannya Ayah. Kamu masih muda. Harusnya teman Ayah lebih berumur."

Laki-laki itu tertawa kecil, "Saya bukan siapa-siapa kamu, juga bukan teman Ayahmu. Saya hanya lewat kesini, karena ada pemakaman Abinya teman saya."

Kanaya mengangguk-angguk paham. Meski dalam hati ia masih tidak paham. Kenapa laki-laki yang hanya lewat begitu peduli pada dirinya sampai-sampai memberikan buket bunga pada kedua orang tuanya?

"Yang terpenting dari berjuang adalah bukan untuk siapa kamu berjuang. Karena sejatinya perjuangan itu hanya untuk diri kamu sendiri. Ada tidaknya orang tua kamu, kamu akan sama-sama berjuang karena kamu ingin membanggakan diri kamu sendiri. Dan itulah bagian terpenting dari perjuangan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

May I Love You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang