Part 22. Teror Arwah Ibu

1.9K 168 10
                                    

Part 21
Teror Arwah Ibu

Kriiiieeeeettt ....

Pintu terbuka dengan sendirinya. Kami terkejut, tubuh bergetar, bibir kelu tak bisa berkata apa-apa. Kami hanya pasrah dengan keadaan ini semua. Terlihat sebuah bayangan akan masuk ke kamar. Dan ....

"Astagfirullah ...." Aku benar-benar terkejut.

Tiba-tiba Bang Bayu masuk. Dengan wajah yang masih tegang, dia menghampiri kami yang sedang berada diatas ranjang menunggu dengan penuh ketakutan.

"Yang, kamu ini bikin kami ketakutan. Hampir saja copot jantung ini." Aku langsung menghampirinya.

"Ada apa, Yang? Kenapa denganmu?" tanyaku penuh ke khawatiran.

"Aku takut, Yang. Melihat wajah Ibu membuatku berasa mati." Bibir Bang Bayu bergetar.

Aku langsung memeluknya. Dengan sedikit keberanian, aku melangkah ke arah dapur mengambil air yang ada di teko beserta gelasnya.

Dengan terburu-buru, aku kembali kekamar dengan membawa air itu. Kemudian menuangkan dan memberikannya kepada Bang Bayu.

"Yang, minum dulu." Aku menyodorkan gelas berisi air putih.

Bang Bayu mengambil dan meminumnya.

"Yang, bagaimana?" tanyaku.

"Aku harus ke tempat Ante Roro dan Om Aryo." gumam Bang Bayu.

"Emang kenapa, Yang?" tanyaku lagi penuh penasaran.

"Nanti kamu akan tahu juga. Besok aku harus segera kekota," jawab Bang Bayu.

Aku terdiam tanpa bertanya lagi, walau sebenarnya penasaran apa yang sedang terjadi.

Mungkin benar apa kata ibu-ibu saat itu, dia memintaku untuk mencari keluarga dari Ayah Mertua. Pasti ada sesuatu di balik ini semua.

"Ya, sudah, ayo cepat tidur. Besok kamu harus berangkat ke kota," ucapku.

"Tapi, Bang, kami takut disini tanpa abang." Santi berujar.

"Nanti, aku akan meminta Mak Ijah untuk menemani kalian disini. Atau kalian tidur di tempat Mak Ijah saja," jawab Bang Bayu.

Santi pun hanya terdiam mendengar ucapan Bang Bayu.

*****
Pagi yang sedikit mendung, mentari hari ini tak menampakan sinarnya.

Hari ini Bang Bayu dengan sigap bersiap-siap untuk ke kota, karena masalah ini harus segera di selesaikan secepatnya.

Beruntung, waktu yang di tempuh dari desa ke kota tempat Ante Roro dan Om Aryo hanya sebentar, sekitar tiga atau empat jam perjalanan. Berbeda dari kota tempat kami tinggal, dan arahnya pun berlawanan.

"Yang, hati-hati di jalan, ya!" pesanku padanya.

"Iya, Yang. Ingat, kalian tidurlah di tempat Mak Ijah selama aku tidak ada."

"Iya, Bang." Santi dan Nanda berbarengan.

Kami melepaskan kepergian Bang Bayu, dengan berharap semoga masalah ini bisa teratasi dan segera selesai.

****
Sepeninggalan Bang Bayu, kami tinggal di rumah Mak Ijah. Sedang rumah, kami biarkan kosong untuk sementara. Sambil menunggu kepulangan Bang Bayu.

Hampir tiap hari, desa selalu sunyi dan sepi setelah magrib menjelang. Tidak seperti biasanya yang selalu rame.

Biasanya warung-warung kecil selalu buka sampai jam sembilan malam, kini menjelang magrib warung-warung sudah tutup.

Biasanya anak-anak muda nongkrong di pinggir jalan dan menyanyikan lagu-lagu kesukaan mereka, kini tak pernah lagi nongkrong di tempat biasa.

Semuanya tiba-tiba enggan untuk keluar rumah. Karena mereka tak ingin bertemu dengan arwah penasaran Ibu.

Pernah suatu hari, seorang bapak warga sekitar pulang dari surau di ikuti arwah penasaran Ibu. Ibu tiba-tiba ada diatas boncengan sepeda motor bapak tersebut. Bapak tersebut shock dan menjadi sakit selama tiga hari.

Sedangkan warga lainnya, hampir tiap hari di temui arwah penasaran Ibu. Apalagi mereka yang pernah menerima barang yang kami sedekahkan.

Hampir setiap warga di desa ini pernah ditemui arwah penasaran Ibu, entah itu menghabisi makanan atau pun sekedar menampakan wujudnya untuk menakuti mereka.

Kami pun yang berada dirumah Mak Ijah tak luput dari gangguan arwah penasaran Ibu.

Malam itu, aku terbangun karena sudah kebelet mau pipis. Kebetulan toilet di tempat Mak Ijah berada di luar dapur. Karena sudah tak tahan lagi, aku tak mempedulikan keadaan. Langsung saja menuju toilet.

Saat sedang berada di toilet, tiba-tiba perut mulas dan ingin buang hajat lagi. Langsunglah aku tunaikn hajat itu.

Dar ... Dar ... Dar ...

"Kak, cepetan. Aku udah kebelet nih," ujar Santi sembari menggedor pintu toilet.

"Iya, sebentar. Sabar dulu, ya," ujarku.

Aku pun langsung membersihkannya, takut kalau Santi sudah tak tahan lagi. Saat mmbuka pintu toilet dan keluar, aku terkejut. Karena tidak ada seorang pun di luar. Ke mana Santi?

Karena sedukt rasa takut menghampiri, aku pun langsung berlari masuk ke rumah dan menuju kamar di mana Santi dan Nanda tidur.

Langkah terhenti saat berada di dapur Mak Ijah. Di sana kulihat seseorang sedang memunggungiku. Dia membuka lemari makanan, seolah ingin segera makan.

"Mak Ijah, kah, itu?" gumamku lirih.

"Mak ...." Aku memanggilnya, namun dia bergeming.

Kudekati sosok yang mirip Mak Ijah. Saat ku pegang pundaknya, dia menoleh. Dan ....

"Astagfirullah ... Ibuuu ...."
Aku berteriak dan langsung berlari. Namun, kakiku seperti ada yang memegangnya. Aku pun terjatuh, kemudian tak sadarkan diri.

***
Saat tersadar, aku sudah berada di kamar tidur. Mak Ijah duduk di sampingku dan menanyakan perihal kejadian tadi malam.

"Apa yang terjadi, Nak?"

"Gak apa, Mak?" sahutku.

"Jangan bohong. Mak tahu kalau tadi malam arwah Ibumu datang ke sini," ujar Mak Ijah.

Aku hanya terdiam. Tak berani mengatakan, takut Nanda akan kecewa mendengar kebenaran ini. Namun, aku lupa karena Nanda memang sudah mengetahuinya.

"Gak usah di sembunyikan."

"Iya, Mak. Tadi malam Ibu ada datang ke rumah ini."

"Cari makan?" tanya Mak Ijah.

Aku mengangguk. Mak Ijah menghela nafasnya, kemudian berjalan ke arah dapur. Aku mengikuti Mak Ijah dari belakang.

"Mak ...." panggilku.

"Iya, " sahut Mak Ijah tanpa menoleh.

Mak Ijah persis seperti sewaktu aku melihat Ibu. Berdiri memunggungi dan mencari sesuatu.

"Cari apa, Mak?" iseng kubertanya.

"Membersihkan bekas makan Ibumu," sahutnya lagi.

"Emang, Mak udah tahu, kalau Ibu akan datang?"

"Iya. Selain di sini, Ibumu pasti ke rumah warga untuk mencari makan."

"Kasihan Ibu, ya, Mak."

"Semoga Bayu bisa membawa adik-adik ayahmu dan meminta maaf pada mereka."







Mertuaku SandahWhere stories live. Discover now