kejadian-kejadian ganjil (part 7)

9.8K 311 20
                                    

Mertuaku Sandah
#Horor_Kalteng

Part 7

"Astagfirullah ... Ibuuu!" aku pun ikut terpekik melihat jenazah ibu.

Matanya yang tadi sudah terpejam, kini mata itu kembali melotot. Bergidik dan juga gemetaran tubuh ini kurasa. Ada perasaan takut untuk menghampiri jenazah itu, karena tadi pun aku sempat melihat tangan Ibu juga bergerak.

Ingin meminta tolong, tapi aku tak ingin aib ini diketahui warga sekitar. Cukup kami yang ada di tempat pemandian ini yang tahu. Lagi pula, para warga lainnya masih melaksanakan sholat magrib, pun dengan Bang Bayu.

Aku semakin gelisah, Mak Ijah pun tak juga kunjung datang. Mendekati pun aku tak berani, takut kalau tiba-tiba tangan Ibu akan mencengkram lenganku.

Hhiiiii ... aku bergidik ngeri.

Kudekati kedua adik ipar dan memeluk mereka. Si bungsu Nanda lebih shock, karena dia yang lebih dekat dengan Ibu.

"San, kenapa bisa kembali terbuka mata ibu?" tanyaku pada Santi.

"Gak tahu juga, Kak. Tadi saat adzan magrib berkumandang, mata ibu tiba-tiba melotot seperti itu. Kami semua terkejut."

"Iya, Nak, kami sangat terkejut. Cuma Mak Ijah yang bisa menangani ini semua," kata Mak Indun, salah satu yang membantu kami memandikan jenazah Ibu.

Mereka berdua pun merapat mendekati kami. Sangat terlihat di wajah mereka ketakutan melihat kejadian ini.

Siapa yang tidak takut berada dalam situasi begini? Beruntung saja mereka tidak langsung lari keluar, kalau tidak, pasti akan membuat para ibu-ibu yang berada di dalam rumah ikutan panik.

Air yang mengalir mengisi baskom pemandian untuk memandikan jenazah pun semakin berlebih, tapi Mak Ijah belum juga kunjung datang.

"Mak Indun, saya mau manggil Mak Ijah dulu, ya," ucapku.

"Gak usah, nak Mirna, kami benar-benar takut disini. Biarlah, mak Ijah nanti pasti akan datang juga," ucap mak Indun.

"Biar cepat selesai proses pemandiannya, Mak," jawabku lagi.

Belum sempat mak Indun menjawab ucapanku, mak Ijah pun datang.

"Alhamdulillah ... Mak Ijah udah datang," ucap kami berbarengan.

"Emang ada apa?" tanya mak Ijah.

"Mata Ibu kembali melotot, Mak," jawabku sambil menunjuk ke arah jenazah.

"Astagfirullah ...." mak Ijah beristigfar dan hanya bisa mengelus dadanya.

Mak Ijah pun mendekati jenazah Ibu. Dengan membaca beberapa ayat suci, mak Ijah mencoba menutup kembali mata ibu yang melotot.

Alhamdulillah ... dengan sekali usapan, mata ibu sudah bisa terpejam kembali seperti semula, walau terpejamnya tak sempurna. Setidaknya, mata itu sudah tidak melotot lagi.

Kami pun segera menyelesaikan proses pemandian jenazah Ibu, walau tanpa Bang Bayu. Karena dia sekarang sedang melaksanakan sholat magrib berjamaah.
Setidaknya sudah terwakilkan oleh kami bertiga.

Proses pemandian hampir selesai. Tinggal selangkah lagi, maka selesailah proses ini. Mak Ijah mulai menyucikan jenazah dengan wudhu, setahap demi setahap air diguyurkan layaknya kita berwudhu. Dan akhirnya, selesailah proses ini.

Bang Bayu datang, walau sudah selesai, tapi dia tetap memaklumi. Para pelayat pun sepertinya mulai berdatangan lagi, terdengar suara riuh mereka dari bilik pemandian ini.

Selesai pemandian, kami menutupi seluruh tubuh Ibu dengan jarik. Agar saat di angkat para bapak-bapak ke dalam rumah nanti, kulit Ibu tidak tersentuh dengan kulit mereka yang akan membatalkan wudhu si mayit.

Ingin para ibu-ibu yang menggotongnya, tapi kami takut tidak kuat untuk sampai ke dalam rumah. Karena, tempat pemandian berada di luar dapur rumah kami.

Belum selesai menutupi seluruh anggota badan Ibu, tangan Ibu yang belum sempat tertutup kain, mencengkram tanganku.

"Allahu akbar ... Astagfirullah ...." aku terpekik, terkejut karena tangan itu masih bergerak.

"Ada apa, Yang?" tanya Bang Bayu.

"Gak apa, Yang," jawabku.

Berusaha untuk menutupi apa yang barusan terjadi. Namun, Mak Ijah terlihat paham apa yang telah terjadi.

"Tolong, jangan sampai ada yang mengatakan keganjilan dalam proses pemandian ini kepada warga lain. Karena ini adalah aib," ucap Mak Ijah.

"Iya, Mak," sahut kami berbarengan.

Lalu Mak Ijah meminta Bang Bayu memanggil bapak-bapak untuk menggotong jenazah ke dalam rumah.

Bang Bayu pun keluar dan meminta tolong kepada bapak-bapak pelayat yang ada di halaman.

Ada tiga orang bapak yang membantu Bang Bayu menggotong jenazah Ibu ke dalam rumah untuk proses pengafanan.

Kami hanya menggiring di belakang, dan aku segera mengganti baju yang sudah basah kerena ikut memandikan jenazah Ibu. Begitu pun dengan Santi dan Nanda.

Setelah selesai mengganti pakaian, aku ikut membantu mengafani jenazah Ibu. Pengafanan berada di ruang tengah yang sudah di sekat.

Sekat yang sudah di bentang di ruang tengah, dari ruang tengah keluar dan ruang tengah ke dapur.

Ini adalah pengalaman yang paling berharga untukku, karena mengikuti setiap proses orang yang sudah meninggal. Plus dengan pengalaman mistiknya. Ya, baru kali ini aku mengikuti setiap prosesnya.

Entah kenapa, hanya aku yang selalu di tampakan Ibu kalau dia seperti masih bernyawa. Walau aku bukan seorang penakut, tapi ada rasa gentar juga kalau harus berhadapan dengan makhluk astral.

Apakah karena aku yang selalu ingin tahu, apa penyebab kematian Ibu seperti itu? Walau bagaimana pun, aku harus tahu sebab akibat ini semua.

Rasa penasaran inilah, yang mungkin membawaku menemukan jawabannya.

Mertuaku SandahWhere stories live. Discover now