Part 5 : UKS

218 11 2
                                    

Sudah setengah jam lebih Gleid berada dalam ruangan ini. Sebuah ruangan dengan background putih tulang yang dilengkapi dengan satu meja kecil di pojok ruangan dan sebuah brankar yang menjadi tempat Gleid berbaring saat ini. Di sampingnya, ada sebuah lemari kayu tempat obat-obatan disimpan.

Ya, ruangan UKS.

Beberapa kali decak sebal keluar dari bibir gadis itu. Tak seorang pun menemaninya di sini. Rintan sudah kembali ke kelas beberapa menit lalu. Ah, tepatnya Gleid sendiri yang mengusirnya dengan alasan tidak apa-apa di sini sendirian daripada Rintan ketinggalan pelajaran. Dan pada akhirnya, dia juga juga yang misuh-misuh karena ditinggal pergi.

Tak ada yang menarik dari apa yang gadis itu tengah lakukan. Hanya memilin-milin rambut menggunakan jari dengan pandangan kosong menatap langit-langit ruangan.

Wajahnya dongkol. Bibir mengerucut sebal beberapa senti ke depan. Sangat tidak suka dengan situasi hening seperti ini.

“Aish, bodoh banget, sih, Gleid! Kamu ngapain malah usir Rintan?” gerutunya.

“Sekarang jadi sendirian, kan?” Gleid bermonolog pada diri sendiri.

Melirik kanan kirinya, lalu kembali berdecak. “Sepi bangetttt!!!” keluhnya diakhir desah ringan.

Tak sampai di situ, Gleid lanjut mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Penampilannya sekarang sudah seperti orang gila.

Sebenarnya, Gleid sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Rasa pening di kepalanya perlahan reda. Namun, gadis itu enggan beranjak dari tempatnya. Dia sudah terlalu nyaman di sini. Lagi pula, jam istirahat akan segera tiba. Mau menyusul di jam pelajaran saat ini pun sudah percuma. Tidak ada gunanya.

Huft, jadi lebih baik Gleid gunakan kesempatan emas ini untuk berleha-leha. Kapan lagi coba bisa kayak gini? Bebas dari pelajaran. Bebas dari ceramahan guru-guru. Iya, kan?

Senyum di bibir gadis itu perlahan terbit. Setelah merenung sekian lama, akhirnya ia mendapat kesimpulan.

“Ah, tapi gak papa, deh! Gak papa sepi, yang penting kan happy,” cetusnya pada diri sendiri, lalu cengar-cengir dengan kekehan lebar.

“Enak banget, ya, bebas dari mata pelajarannya Pak Arfan,” celetuk seseorang dari arah pintu mengalihkan perhatian Gleid.

Gadis itu tersentak karena suara lain tiba-tiba menginterupsi indera pendengarannya. Namun ketika melihat makhluk aneh si pembuat onar sedang berdiri sambil bersedekap dada dengan gaya cool di depan pintu, membuatnya berlagak mual ingin muntah.

“Ngapain di situ?” tanya Gleid sensi, tatapannya begitu sinis.

Cowok itu, Melvano, mendelik sebelum membalas. “Gak liat gue lagi apa?” tanyanya balik. Tak kalah sinis.

“Berdiri goblok!!!” ujarnya lagi, menjawab pertanyaan sendiri.

Gleid memutar bola matanya, lalu menghela napas. Dia mengibas-ibaskan tangan ke wajahnya saat merasa udara di ruangan mendadak panas. Tepatnya saat kedatangan cowok sialan itu.

“Pergi lo!” usir Gleid.

“Dih, siapa lo?! Main ngusir-ngusir aja. Emang ini ruangan punya bokap lo?!” Cowok itu malah mencibir.

“Kan, kalo gak punya tujuan kemari mending cabut aja. Ya, kan? Bikin gerah aja, lo!” Gleid mencoba menjelaskan dengan senyum ramah, namun pada akhirnya mencibir juga.

“Bacot lo! Gue ke sini mau ambil kotak obat kali. Di depan ada yang kecelakaan. Jatuh dari lantai dua,” ungkap Melvano panjang lebar, lalu melangkah masuk mendekati lemari di pojok. Mengambil sesuatu yang menjadi tujuannya kemarin.

Mendengar itu, Gleid menegakkan badannya. Mengubah posisi menjadi duduk sambil bersandar pada punggung brankar. Dia menatap Melvano dengan wajah serius.

“Yang benar? Kejadiannya gimana? Kok bisa?” tanyanya beruntun, sangat kepo.

“Mau tau aja lo!” ketus Melvano menahan kikik geli. Karena sebenarnya apa yang ia katakan barusan adalah omong kosong.

Yang menjadi tujuannya ke sini adalah untuk memastikan kondisi gadis itu. Begitu mengetahui informasi dari Rintan bahwa Gleid sedang istirahat di UKS, dia langsung bergegas kemari. Namun, Melvano terlalu gengsi sekaligus malu untuk mengakui hal tersebut di depan Gleid.

“Songong banget! Ditanya baik-baik juga!” Melvano pergi, tinggallah Gleid yang mencak-mencak karena ulah cowok itu.

Sementara di luar sana, Melvano yang sudah tidak bisa menahan langsung menghamburkan tawanya. Hingga suaranya menggelar di sepanjang koridor. Untung suasana lagi sepi karena masih jam pelajaran.

***

Bukannya merasa sedikit lega karena kepergian Melvano, Gleid malah semakin kepanasan.

“Duh, ini kenapa panas banget, sih?” dumelnya sembari mengipasi tubuh. Namun tak memberi efek sedikit pun.

Rasanya, Gleid seperti ingin berenang saat itu juga. Seluruh badannya tampak memerah entah karena apa. Tak hanya itu kerongkongannya pun terasa kering. Untung saja ada sebuah gelas berisi air di atas nakas. Gleid langsung meraih gelas tersebut dan menenggaknya habis.

Sisa-sisa air tersebut tak sengaja menetes ke badan Gleid. Sebuah perubahan terjadi. Sepasang ekor sudah tumbuh di ujung kaki gadis itu diikuti sisik berwarna biru-ungu. Tidak bertahan lama. Karena setelahnya, seseorang masuk ke dalam ruangan, semua itu langsung lenyap. Gleid kembali ke wujud normalnya.

“Gleid ...,”

Gleid menoleh.

***




Dua Dunia (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang