Part 8 : Waktunya Tiba

139 8 0
                                    

Gleid pulang ke rumah dengan wajah murung. Gadis itu pulang membawa sejuta kekesalan yang menumpuk dalam hati. Dimulai dari tadi pagi, pergi ke sekolah dengan hujan-hujanan. Mood-nya dibuat hancur oleh sang ayah. Lalu, di UKS Melvano dua kali datang merecokinya. Dan terakhir tadi, ketika Lisa datang melabraknya. Sialnya lagi, Gleid selalu tidak bisa berbuat apa-apa jika ditindas seperti tadi. Hanya bisa diam dan menerima perlakuan buruk. Bodoh memang. Namun, entah kenapa, Gleid tidak bisa melakukan semua itu di depan umum. Terkecuali jika berhadapan dengan Rintan, juga Melvano yang serba menjengkelkan. Cowok itu selalu berhasil memancing emosinya.

Gleid membuang asal tas sekolah dan  membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Seragam sekolahnya dibiarkan melekat di badan begitu saja. Gadis itu menghela napas kasar mengingat begitu buruknya di hari ini. Dia memandangi langit-langit kamar dengan nanar.

Merasa bosan, Gleid mengambil handphone dan bermain di salah satu aplikasi media sosial. Melihat room chat-nya yang sangat sepi, Gleid mencebikkan bibir. Berdecak sebal. Lalu, dia memilih tarik ulur beranda karena gabut---membaca satu-satu postingan yang muncul di beranda. Sesekali berjengit ngeri dalam hati setiap mendapati postingan yang menurutnya alay.

‘Aku suka sama kamu, kenapa gak peka-peka, sih?’

Begitu salah satu status yang muncul di beranda Gleid.

“Dih, apaan, sih! Alay banget. Amait-amit, dah!” Gadis itu mencibir. Geli.

Malas dan bosan karena tak ada yang spesial sedikit pun dari hp, Gleid membuang benda itu asal. Tak peduli jika jatuh ke lantai dan layarnya retak. Gleid memilih memejamkan mata. Namun, tidak benar-benar tidur.

***

Tak terasa hari telah menjelang malam. Mentari sudah berlalu berganti cahaya rembulan. Tidak sadar, Gleid sudah terlelap beberapa jam. Pada akhirnya, gadis itu tertidur setelah bergelut dengan pikiran.

Gadis itu tidur dengan posisi telentang. Tanpa balutan selimut. Kedua tangan melebar, masing-masing terletak di sebelah kepala. Dengkuran halus terdengar darinya mengisi kesunyian malam itu.

Ruangan kamar yang tadinya remang-remang karena pencahayaan yang minim, langsung terang begitu pancaran cahaya rembulan masuk menembus jendela kaca. Menerangi seluruh badan Gleid.

Gadis itu bergerak gelisah saat cahaya itu mengusik ketenangannya. Menyilaukan mata. Gleid berdecak dan bangun dari tidurnya dengan malas apalagi ketika mendengar suara ketukan dari luar di pintu kamar.

“Non Gleid, bangun Non. Makan malam sudah siap. Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah,” kata sang bibi dari luar, diakhiri dengan sekali ketukan.

“Iya, Bi. Entar Gleid turun.” Gleid yang masih terjaga---tengah mengucek-ucek mata dan sesekali menguap---membalas ucapan sang bibi dengan malas.

Setelah itu, tak terdengar lagi suara ketukan pada pintu. Hanya derap langkah kaki yang kian menjauh dari kamar Gleid. Tandanya, Bibi sudah pergi.

Saat cahaya itu kembali menyilaukan mata, Gleid memberenggut dan membuka dengan paksa. “Ini apa, sih, terang banget! Ganggu aja!” cibirnya.

Kerutan di kening tergambar begitu jelas saat cahaya rembulan merambat terang ke dalam kamar. Kok, bisa seterang ini? Aneh banget. Begitu pikirnya.

Mencoba bersikap bodoh amat, Gleid turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Gadis itu mendekati wastafel lengkap dengan kaca, hendak cuci muka. Terlebih dahulu Gleid memandangi wajah di depan cermin lebar. Begitu kusut ditambah rambut acak-acakan. Penampilannya sudah seperti kuntilanak saja, bahkan mungkin lebih parah.

Gleid mendengus. Kemudian gadis itu membasahi wajahnya dengan air setelah menadah air dari kran dengan kedua tangan langsung. Mengambil sabun cuci muka dan mengoleskannya ke wajah. Memijit wajah dengan lembut, kemudian membilas dengan air lagi.

Gleid tersenyum puas melihat perubahan di wajahnya yang tampak lebih segar dari sebelumnya. Gadis itu beranjak ke kamar. Dia hendak turun ke lantai bawah. Tak ingin membuat kedua orang tuanya menunggu terlalu lama.

Namun, ketika hendak memutar knop pintu, tiba-tiba Gleid merasakan hal aneh pada tubuhnya. Gerah, itu yang ia rasakan. Sensasinya seperti di UKS tadi siang. Entah apa yang tengah bereaksi dalam tubuhnya saat ini.

Gleid mengusap tubuhnya gelisah. Dia seperti butuh air. Tanpa basa-basi, gadis itu langsung berlari kembali ke dalam kamar mandi dan berendam di bathtup. Sedikit merasa lega setelah menyentuh air. Rasanya segar melingkupi.

Saat Gleid hendak beranjak dari sana, tiba-tiba badannya kembali tertarik karena tidak bisa berdiri dengan benar. Seperti ada yang mengganjal dengan kedua tungkai kakinya.

Dan saat Gleid melirik ke bawah, saat itu juga kedua bola matanya terbelalak kaget. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perlahan, kedua kaki ditumbuhi sisik.

“A-aku punya ekor?” tanyanya pada diri sendiri.

Namun, tentu saja binar bahagia tak luput dari kedua matanya. Inilah impian Gleid dari dulu. Ingin mempunyai ekor dan berenang di lautan bebas. Dan sekarang, akhirnya terkabulkan.

“Serius, punya ekor? Gleid gak lagi mimpi, kan?” monolog gadis itu pada diri sendiri, sudah seperti orang gila saja.

Lalu, suara tanpa wujud terdengar menginterupsi kesenangan Gleid.

“Selamat, Gleidrenty Mahatma. Anda orang terpilih menjadi princess mermaid yang akan bersanding dengan prince merman di kerajaan bawah laut.”

Suara khas laki-laki yang entah berasal dari mana.

Sebenarnya, Gleid kurang paham akan maksud kata-kata itu. Namun pada akhirnya, memekik karena terlampau bahagia.

“Ah, bunda! Akhirnya Gleid punya ekor. Gleid jadi mermaid benaran, Bunda!” seru Gleid sambil menggerak-gerakkan ekornya yang berwarna ungu berkilau.

Warna yang begitu indah dan memukau.

Perihal hari ini, akan Gleid ceritakan pada Rintan bahwa dia sudah menjadi mermaid sungguhan tanpa harus memakai kostum lagi. Ini mungkin terdengar konyol, tetapi Gleid bisa memberikan bukti.

***

Dua Dunia (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang