•Payne Sister•Part 3

3.1K 390 18
                                    

"So, bagaimana hari pertamamu di Royal Academy?" Adalah pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Lilly saat telpon kami saling menyambung.

Yap, aku sedang berbincang dengan Lilly melalui telepon. Bersyukurlah asrama ini tidak melarang para peserta didiknya untuk membawa ponsel or something like that--kecuali laptop.

Walau aku tidak sedang melihat bagaimana rupa Lilly saat ini, aku berani bertaruh bahwa jalang belia yang satu itu tengah tertawa mengejek. Mengejekku yang sedang menderita akibat seorang kakak tiri.

"Bisakah kita membuang jauh-jauh topik seputar Royal Academy? Aku sudah muak dengan hal ini dan... Lilly, kau harus membayar ini! Karena kau aku jadi terdampar di tempat kuno nan tidak keren ini," jawabku sambil mengeringkan rambutku yang basah dengan sebuah alat canggih temuan entah-siapa bernama hairdryer.

Aku memang baru saja mandi. Kini gantian Cass yang mandi. Aku bersyukur asrama ini menyediakan kamar mandi di setiap kamar sehingga aku tidak perlu mengantri untuk mandi. Hal-hal semacam mengantri adalah hal-hal yang sangat kuhindari jika bisa.

Lilly terkekeh pelan di sebrang sana. "For God's sake, Al. Bukan aku yang membuatmu berada di tempat terkutuk itu, Liam yang membawamu ke sana."

Aku memutar bola mataku sambil mematikan alat yang baru saja mengeringkan rambut hijauku yang basah. Setelah itu aku menaruh alat itu di atas meja belajarku yang tidak bisa dikatakan sebagai meja belajar karena benda ini lebih mirip dengan meja rias.

"Jika kau tak menggodaku untuk mengecat rambutku menjadi hijau aku tidak mungkin mengecatnya Lilly, dan jika aku tidak mengecatnya maka Liam pun tak akan membawaku ke tempat ini. So, ini semua salahmu, Lilly. Salahmu!"

"Ini bukan salahku, Al. Salahmu sendiri yang mau-mau saja tergoda dengan godaanku. Dan salahmu juga menerima opsi hukuman ketimbang mencat rambutmu itu menjadi cokelat kembali. Stop, mengkambing hitamkan orang lain, Al. Pada kenyataannya kau juga salah."

Aku mendegus, "aku tidak sedang mengkambing hitamkan orang lain, Lilly. Lagipula, kau tahu sendiri aku benci kambing and something like that."

Aku bisa mendengar suara tawa Lilly yang membahana di sebrang sana. Aku tidak tahu bagian mana dari ucapanku yang lucu. Aku baru sadar, aku tidak pernah paham hal apa yang orang lain tawakan saat aku mengatakan sesuatu. Menurutku, tak ada bagian yang lucu. Apa selera humor mereka serendah itu?

"Sudah dulu ya, Al. Aku sedang ada dalam pesta," kata Lilly setelah dia berbicara dengan orang lain.

Dari suara berisik yang kudengar sayup-sayup, aku sudah bisa menebak bahwa Lilly sedang ada dalam pesta. Aku dan Lilly memang anak pesta namun aku tidak bisa melakukan hal-hal lebih dari menari bak orang gila di acara itu karena jika aku minum alkohol dan melakukan hal-hal semacam make out aku akan dimarahi Liam--dan aku tidak bisa mengakali hal ini. Berbeda dengan Lilly yang sudah sering mencicipi alkohol.

"Pesta apa?"

"Pestaku. Aku sudah punya pacar sekarang. Dan pacarku itu membuat pesta," jawab Lilly dan aku yakin seratus satu persen bahwa Lilly kini sedang senyum-senyum bak orang gila. Aku hapal betul tabiat Lilly meski kami baru berteman saat sekolah menengah atas.

"Siapa pacarmu? Kenapa kau tidak pernah menceritkan apa-apa padaku? Sejak kapan kalian berpacaran?"

Aku bisa mendengar Lilly terkekeh kecil di sebrang sana, "kau ini seperti polisi yang sedang bertanya-tanya pada tersangka saja." Ada jeda sejenak sebelum Lilly kembali berujar, "kami baru berpacaran saat kau pindah ke Royal Academy. Maaf ya, aku tidak pernah bercerita karena kupikir kau akan marah jika aku menceritakannya. Inisial pacarku adalah H-S tebak sendiri saja siapa dia."

Aku menatap ke arah langit-langit kamar yang dipenuhi dengan warna putih yang menurutku tidak menarik. Sambil menatap, aku mencari-cari nama seseorang berinisial H-S di loker-loker yang ada di otakku.

"H-S? H-S? H-S? Oh, Hendrick Stone? Kau berpacaran dengan Hendrick Stone?" tanyaku yang lebih tepat disebut dengan teriakanku.

Hendrick Stone. Aku yakin bahwa Rick-lah yang menjadi pacar Lilly saat ini. Mengingat, Lilly akhir-akhir ini dekat dengan spesies yang satu itu meski Lilly tak pernah menceritakan apapun padaku.

Lilly hanya tertawa tanpa menjawab apa argumenku yang tadi benar atau tidak. Tapi, aku yakin seribu satu persen bahwa jawabanku tadi tak meleset.

Lilly kemudian mematikan sambungan sepihak sebelum aku sempat membalas salam darinya. Di saat yang bersamaan, Cass keluar dari kamar dengan tubuhnya yang terbalut handuk berwarna putih. Sepertinya gadis itu tak membawa baju saat masuk ke dalam kamar mandi tadi.

"Aku sudah terbiasa tinggal di sini sendiri dan sudah terbiasa kalau ke kamar mandi tak membawa baju. Jadi, yeah, seperti yang kau lihat sekarang, aku lupa bawa baju," jelas Cass tanpa kuminta.

###

"Yang itu namanya Niall Horan," celetuk Cass tiba-tiba tepat di samping telinga kananku.

Aku menoleh. Menatap Cass tajam karena dia sudah cukup mengagetkanku. Gadis itu hanya menanggapinya dengan tawanya yang kalau didengar-dengar cukup aneh.

Saat ini aku dan Cass sedang ada di kantin, memakan jatah makan siang kami. Selain aku dan Cass, meja ini juga dipenuhi dengan anggota pemandu sorak. Entahlah, kelihatannya kawan baruku itu cukup dekat dengan kumpulan gadis sok cantik ini.

"Niall Horan? Siapa itu?"

"Yang sedari tadi kau lihat."

Ugh, aku yakin bahwa saat ini pipiku sudah semerah kepiting rebus. Malu yang kini kurasakan karena ketahuan melihat pemuda berambut pirang dengan manik berwarna biru yang kini sedang makan makanannya bersama anggota tim basket.

Diam-diam aku menghela napas lega. Lega bisa tahu nama si pirang itu.

Oh, Niall Horan.

"Demi saus kacang, aku tidak melihati siapapun Cass," elakku sambil berharap bahwa kebohongan yang kulakukan tidak terlihat jelas. Harapanku itu pupus begitu Cass tertawa kencang. Dia tahu betul bahwa aku baru saja berbohong.

"Tidak perlu bohong. Terlihat jelas."

Oh, terlihat sejelas itukah? Ini sungguh memalukan! Ini adalah kali pertama aku tertangkap basah melihati pemuda tampan. Walau aku sering melihati Harry diam-diam semacam agen mata-mata dari FBI, aku tidak pernah ketahuan. Sepertinya, tingkat kepekaan gadis yang duduk di sampingku ini cukup tinggi. Sial!

"Tapi, jangan coba-coba dekati dia," kata Cass seperti seorang peramal yang tahu saja bahwa aku punya rencana untuk mendekati Niall.

"Kenapa?"

"Karena dia itu milik Cam. Walau Cam dan Niall sudah lama break tapi Cam masih sangat cinta pada Niall. Kau bisa dihabisi oleh Cam. Aku tidak mau kau yang merupakan teman baruku harus berhadapan dengan sahabat karibku, aku tahu betul kelakuannya. Dia bisa saja membunuhmu di sini dan memanipulasikan seolah-olah kau sedang bunuh diri. Dia punya sedikit jiwa psikopat," bisik Cass.

Aku jadi merinding sekaligus tak menyangka bahwa Cam yang terlihat seperti gadis tak punya nyali besar punya jiwa psikopat. Sepertinya aku harus berpikir berulang kali jika ingin mendekati si pirang itu. Toh, aku masih punya Harry yang kemarin baru saja menelponku dan menanyai kabarku yang terdampar di tempat terkutuk bernama 'Royal Academy'

TBC

Please leave some feedback(s) if u love this chapt or this story. Ur feedback(s) like oxygen to me.

Lots of love,

Payne Sister // L.P&N.H ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя