05

5.4K 330 3
                                    

Assalamu'alaikum.

___

Jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Hujan turun dengan sangat deras dengan petir yang terus menyambar, Salwa menenggelamkan badannya ke dalam selimut. Biasanya, jika ia kedinginan seperti ini, Umma atau Abah akan memeluknya untuk memberi kehangatan.


DARRR

Lampu mati bersamaan dengan suara petir yang sangat keras membuat Salwa mengeratkan pegangannya pada selimut. Badannya bergetar hebat. Dengan perlahan, ia mencoba mencari senter di atas meja, namun nihil ia tak menemukannya.


DARR

Petir kembali menyambar, Salwa yang sudah keluar dari kamar sambil berpegangan dengan dinding pun terlonjak kaget dan langsung berjongkok memeluk lututnya dengan mata terpejam. Ia menangis tersedu-sedu di sana.

Gibran yang baru saja dari dapur mengernyit heran saat mengarahkan senter, terlihat perempuan yang tak asing baginya sedang meringkuk ketakutan.


Gibran menghampiri Salwa dan menepuk bahu istrinya yang membuat tangis Salwa kembali pecah saat itu juga.


"Pe-pergi," usirnya dengan terisak tanpa melihat siapa orang itu.

"Ngusir?" tanya Gibran mengangkat satu alisnya.

Mendengar suara yang familiar, Salwa lantas mendongak. Badannya yang bergetar hebat membuatnya tak bisa berbuat apa-apa selain diam di tempat dengan air mata yang terus turun.


"Ngapain di luar?" tanya Gibran heran.

"Terus, kenapa nangis lagi?" sambungnya kembali bertanya.


"Takut ...," jawab Salwa dengan lirih.

Gibran mengangguk. "Sekarang, mending lo masuk," suruh Gibran, "nih, bawa senternya." Gibran menyerahkan senter itu ke tangan Salwa, namun dibalas gelengan olehnya.


"Kenapa?" tanya Gibran lagi kebingungan.

"Takut ...," ucap Salwa lagi.

"Phobia petir?" tebak Gibran diangguki Salwa.

Gibran menghela napas, lalu menggendong tubuh mungil Salwa ke dalam kamarnya. Salwa tak memberontak, toh Gibran adalah suaminya.

"Tidur," titah Gibran yang sudah mendudukkan Salwa di kasur.

Salwa menggeleng kembali, ia tak bisa tidur jika masih berpetiran seperti ini, apalagi tanpa ada yang memeluknya.

Gibran duduk di kasur sebelah Salwa lalu membawa Salwa ke dekapannya. "Sekarang tidur," suruh Gibran lagi.

Salwa tak menjawab apapun, ia terlalu nyaman dengan pelukan ini. Hangat.

Ning Salwa! Onde histórias criam vida. Descubra agora