If it is You

91 10 0
                                    

Dalam gelap yang temaram, di sebuah kamar yang lampunya dibiarkan padam, hanya pendar lampu kemuning di atas nakas yang menyala. Gorden di kamar itu dibiarkan terbuka, membuat cahaya kilatan petir yang menyambar masuk menembus kaca jendela.

Setiap kilatannya, memperlihatkan eksistensi seorang gadis yang duduk di bawah meja nakas dengan kepala yang bersembunyi di sela kakinya yang di tekuk. Kedua kakinya semakin ia peluk erat menggunakan kedua tangannya, mengabaikan tubuhnya yang semakin menggigil, sebab pakaiannya yang basah kuyup.

"Gemma."

Seseorang membuka pintu kamarnya, namun ia masih memilih abai. Kepalanya pening luar biasa, sebab terlalu lama bermain dibawah air hujan. Bibirnya semakin membiru, seiring dengan tubuhnya yang semakin menggigil.

"Gemma, kamu di mana?"

Suara kembali terdengar, namun gadis itu semakin merapatkan pelukannya pada dirinya sendiri. Semakin memeluk kedua kakinya, semakin ditenggelamkan kepalanya, semakin gadis itu berharap ia mampu melindungi dirinya sendiri.

"Antonio."

"Iya, Sayang. Ini aku. Kamu kenapa—Gemma!!" Belum selesai pria itu menginterogasi keadaan Gemma yang memprihatinkan, gadis itu sudah kehilangan kesadarannya. Lantas, pria itu mengangkat tubuh ringkih gadis itu ke atas tempat tidurnya.

"Anton, ngapain lo di sini?"

"Kebetulan banget lo kesini, Met. Tolong bantu ganti baju Gemma. Dia habis kehujanan. Gue ambil air panas buat kompres."

"Enak aja. Gue nggak sudi."

"DIA DEMAM, METTA! DIA PINGSAN!" Setelah membentak, air muka Antonio kembali sendu. Pria itu kembali berujar, "Tolong, bantu satu kali ini aja. Gue nggak mungkin yang gantiin bajunya, kan?"

Metta menghela napasnya kasar, wanita itu berjalan mendekati tempat tidur Gemma, mulai melepas beberapa kancing kemejanya. Namun, kegiatannya terhenti ketika menyadari Antonio masih berdiri mematung. "Lo nggak jadi ambil air panas?"

"Hah? I-iya." Dengan segera, Antonio meninggalkan kamar gadis itu.

Setelah Metta membersihkan tubuh Gemma dan menggantikan bajunya, kini Antonio yang tinggal di kamar gadis itu. Berjaga sepanjang malam, menggantikan kompresnya hingga pagi menjelang. Pria itu duduk di lantai. Hanya kepalanya yang bersandar di tempat tidur Gemma, satu tangannya sedang menggenggam tangan gadis itu. Pria itu jatuh tertidur dalam penjagaannya.

Gemma menggeliat ketika sinar matahari menusuk kedua matanya, sebab gorden yang semalaman masih dibiarkan terbuka. Setelah satu tangannya meraih sesuatu yang berat menindih dahinya, atensi gadis itu teralih pada tangannya yang lain, gadis itu luar biasa terkejut, lantas mendudukan dirinya segera, membuat pening seketika menyerang.

Gadis itu melenguh, sebab kepalanya pening luar biasa.

"Gemma, kamu bangun? Kenapa? Masih pusing?" Gemma segera menepis tangan Antonio yang hendak menyentuh dahinya.

"Gue udah mendingan. Lo bisa pergi."

"Aku ambilin sarapan, ya?" Gemma memejamkan matanya, lelah dengan perlakuan Antonio yang terus tarik ulur padanya.

"Kamu harus makan, Sayang. Terus minum obat."

"Gue capek. Gue capek sama semuanya. Gue beneran capek. Gue pengin sendiri. Jadi, tolong, tinggalin gue sendiri. Bisa, kan?"

Antonio menggeleng, "Enggak, Gem. Semalem kamu udah biarin badan kamu menggigil sampai kamu pingsan. Aku nggak bisa ninggalain kamu sendiri kayak gini."

"Gue bisa urus diri gue sendiri."

"Menyakiti diri sendiri? Itu maksudmu bisa urus diri sendiri?" Gemma bungkam. Bukan karena ia tidak bisa menjawab, hanya saja, ia sudah terlalu lelah dengan semua yang telah terjadi padanya. Semua orang telah mengecewakannya.

21+ [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora