RC 13

848 142 65
                                    

"Kau hal yang paling sulit kugapai,
Tersadar aku sekarang,
Kaulah yang kuinginkan,
Namun di saat itulah kau pergi."

°°°°°


Emerald Restaurant.

Meja 205.

Sesosok pria tua berjanggut putih berjalan memakai tongkat, dibantu seorang gadis dengan gaun berwarna merah muda yang memperlihatkan lengan putih bersih dan sepasang kaki jenjang miliknya.

Tidak ada yang meragukan kecantikan Clarissa Paramita dan beberapa pengunjung yang berpapasan, seolah tidak bisa mengabaikan pesona gadis itu. Namun malam ini Nares menjadi pengecualian. Ia bahkan masih mengingat saat ia menolong Sekar yang jatuh saat insiden pabrik milik Gandy.

Sekar berkulit sawo matang, namun wajahnya bersih dan tidak tampak seperti gadis desa. Nares tidak sengaja menyentuh telapak tangan Sekar saat menggendong gadis itu dan dalam beberapa detik ia merasakan seperti ada aliran listrik yang mengalir. Menyetrum dan menyadarkan raganya untuk tidak berlama-lama menyentuh gadis itu. Mungkin aliran listrik itu membuat ia takut kebablasan dan menginginkan lebih dari yang seharusnya.

Kekhawatiran Sekar mengalami cedera kepala serius dan sempat terlintas di benaknya kalau-kalau Sekar sampai meninggal dunia karena perdarahan otak adalah bentuk kekhawatiran berlebihan kala itu. Ternyata gadis itu sampai sekarang baik-baik saja. Seharusnya ia lega karena tidak perlu lagi memikirkan Sekar. Sudah ada lelaki lain yang menjaga gadis itu. Mau tidak mau, suka tidak suka ia harus mengakui kalau dokter Sultan lebih baik dari dirinya.

Lamunan Nares berhenti pada titik dimana Abyasa menepuk bahunya. Kakek memberi isyarat agar Nares menyapa Bram, sahabatnya.

"Lama tidak bertemu, kamu bertambah gagah saja, Nares. Aby sudah menjenguk saya di rumah sakit. Tadinya saya berharap kamu dan Clarissa akan datang berdua. Tapi kata Aby, kamu ada urusan kantor yang lebih penting. Saya paham akan hal itu."

Nares tersenyum tipis. Nyaris datar dan sama sekali tidak terlihat antusias di acara malam ini. Tapi bagaimana pun ia tetap menaruh rasa hormat terhadap Bram.

Kebalikan dengan Nares, ia menyadari kalau Clarissa beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Penuh rasa kagum. Mungkin. Entahlah. Nares malas menyimpulkan karena sudah biasa melihat kaum hawa tersipu malu jika menatapnya.

Kecuali satu orang itu. Ya, gadis itu. Yang selalu menghindar kontak mata dengannya. Sekalinya mereka bertemu, hanya kilatan kekesalan yang tampak di matanya. Ia tidak ingin pura-pura baik di depan Sekar, karena ia tidak pernah bisa jadi sosok seperti Sultan. Dari jarak dekat, ia bahkan bisa melihat Sultan menarik kursi untuk Sekar dan mempersilahkan gadis itu duduk.

Sadar Res, gadis itu tidak akan pernah jadi milikmu. Tapi bermain-main sejenak saat ia nanti menjadi karyawanmu, tidak akan jadi masalah. Kamu bisa mengikatnya melalui kontrak kerja.

"Maafkan saya, Opa Bram. Tidak sempat menjenguk di rumah sakit. Semoga Opa sehat selalu." Nares basa basi agar terdengar sopan.

Bram mengangguk dan tersenyum.

"Nares, ini Clarissa. Cucu saya yang paling cantik. Tentu saja karena dia cucu satu-satunya yang saya punya. Dia adalah permata keluarga kami. Saya senang kalian bertemu lagi setelah Clarissa beranjak dewasa."

Clarissa balas tersenyum dan mengulurkan tangannya di depan Nares. Untuk apa. Apa gadis itu berharap Nares menggenggam tangannya lalu mencium punggung tangan gadis itu seperti di film-film.

"Kamu punya jari tangan yang lentik." Nares mengisi gelas kristal milik Clarissa dan mengambilkan gelas untuk gadis itu. Tatapan Clarissa berubah kecewa karena Nares sama sekali tidak menyentuh jemari tangannya. Nares menyambutnya dingin.

Renjana CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang