Lagi, Yogyakarta

31 1 0
                                    

Sangat berat untuk Sukir berada di kereta malam ini, yang mengantarkannya, dan juga karyawan bank Sarap lainnya, ke Yogyakarta. Dari awal pengumuman gathering ke Yogyakarta, Sukir sudah tidak tertarik. Bukan karena acaranya, tetapi kota tujuannya. Sering kali Sukir mengutarakan niatnya yang tak ingin ikut, namun selalu ditentang oleh Riri dan Wida. Riri dan Wida berusaha meyakinkan pada Sukir bahwa Yogyakarta tak seharusnya menjadi kota yang menakutkan bagi Sukir. Di kota itu, tak selamanya mengenai luka, ada kenangan manis juga. Bulan madu, liburan, atau agenda rutin setiap enam bulan sekali yang dikunjungi, saat Sukir dan Namira masih pacaran.
Madam dan Pak Burhan juga sudah mewanti-wanti kalau timnya harus ikut semua. Tidak ada alasan apapun kecuali hal urgent yang dapat membatalkan keberangkatan mereka. Semesta tak mendukung niat Sukir. Dengan perasaan tak enak pada yang lainnya, Sukir akhirnya menyiapkan dengan serius mentalnya menginjakkan kaki di Yogyakarta lagi.

Gathering yang diadakan bank Sarap kali ini bertujuan untuk memberikan penyegaran bagi karyawan yang disibukkan dengan pekerjaan dimulai dari pukul delapan hingga pukul lima sore, atau bahkan lebih, di hari senin hingga jumat, atau bahkan sabtu dan minggu ada yang tetap berangkat ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Sukir menikmati kopi hitamnya di kereta restorasi. Beberapa teman kantor juga sedang menyantap makanan atau sekadar menikmati teh hangat serta kopi.

"Kir, sendirian aja?" tanya Rando, dari departemen analis kredit.

"Iya nih. Gabung? Sini." Sukir menggeser duduknya.

"Boleh." sebelum duduk, Rando memesan pop mie, menu andalan perjalanan jauh, baik di kereta api maupun bis malam.

"Gimana rasanya proposal semakin banyak dan syarat komite jadi fleksibel untuk beberapa hal?" tanya Sukir saat Rando duduk di sebelahnya.

"Pusing. Kita yang analisa, RO yang berisik minta approve segera. Padahal masih gue analisa. Baru juga masuk ke meja gue, sepuluh menit kemudian, cabang udah e-mail, mau akad besok atau lusa," jelas Rando.
"By the way, kita sampe di jogja jam berapa, ya?" Rando melirik jam tangannya.
"Kira-kira jam 4 subuh, lah."
"Lumayan juga perjalanannya."
Di meja bar restorasi terdengar suara seorang wanita, memesan bakso dan teh hangat. Sukir tak tahu siapa orang itu, karena posisinya membelakangi bar restorasi. Sementara Rando, yang memang penasaran, menoleh ke sumber suara.
"Hai, Okta," sapa Rando.
"Hai, Mas," Okta balik menyapa dengan senyum manis.
Sukir masih tidak menoleh, walau ia akhirnya tahu, Okta yang ada di belakangnya.
"Mas Rando, aku duluan, ya," pamit Okta pada Rando, pesanan bakso dan teh hangatnya selesai dan dibayar.

"Oh, iya Okta," balas Rando, tanpa diikuti oleh Sukir. Masih memandang ke luar jendela.
Okta pun berlalu tanpa pamitan dengan Sukir, karena ia merasa Sukir tak menoleh padanya.
"Kir, gue duluan ya balik ke kursi," pamit Rando beberapa saat kemudian.
"Oke, sip."
Kembali Sukir sendirian. Mengosongkan pikirannya yang sedikit kacau. Sebenarnya hanya satu, namun dirinya yang selalu overthinking terhadap masa lalu. Kali ini tak ada alasan lagi untuk menghadapi Yogyakarta. Ah, bukan, lebih tepatnya menghadapi luka lama yang akan selalu muncul di depan mata. Semua harus ia persiapkan sendiri. Kesiapan mental yang menjadi utama.

Okta sudah kembali di kursinya. Ia menghempaskan tubuh dengan malas.
"Nih." Okta menyerahkan Bakso dan teh hangat yang ia pesan di restorasi kepada Nindi.
Rando melintasi kereta ke lima, tepat di kursi nomor 12, tempat Okta duduk, yang membuat Okta ingin menanyakan sesuatu.
"Mas Rando udah selesai ngopi?"
"Iya, Ta, pengen tiduran."
"Mas Sukir masih di sana?"
"Masih kok. Nggak tau deh, dia betah banget di sana."
"Oke Mas. Makasih."
"Makasih? Makasih untuk apa?" Rando bingung.
"Nggak apa-apa, Mas. Makasih mau menjawab pertanyaan saya." Okta nyengir, lalu berdiri menuju kerera restorasi.
"Ta, bagi dua, ya? Gue nggak habis kalo ...." baru saja Nindi menawarkan makanannya, Okta sudah menghilang dari kursi sebelah.

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Where stories live. Discover now