9. Putrinya Jatuh Cinta

154 20 4
                                    

Fyi, chapter ini harusnya aku publish saat 31 Juli tahun lalu, loh, biar pas sama ulang tahun Papa Harry. Wkwkwk... tapi malah baru sekarang. Maaf ya, cerita ini sudah susah untuk aku kembangin. Mungkin sebentar lagi akan aku buat selesai di dua atau tiga chapter ke depan 😂 Jadi, terima kasih sekali buat kalian yang sejak awal covid menjadikan cerita HQ sampai NN ini hiburan kalian. Terima kasih sekali.
So, kita akan lanjut dulu soal kisah Lily yang lagi jatuh-cinta. Yang sudah lupa ceritanya bisa kembali baca chapter selanjutnya, ya.
Ok, kita langsung baca aja!

Happy reading!

============

"Apa?" suara Harry meninggi. Tidak sadar membuat healer dan beberapa asistennya menoleh demi menatapnya.

Harry meminta maaf telah mengganggu. Mereka dipersilakan kembali untuk memeriksa Lily. Ginny menarik tangan suaminya lebih menjauh. Dirinya sudah merasakan aura tidak nyaman dari sorot mata suaminya.

"Jangan langsung salahkan Lily."

"Putri kita jatuh dari lantai dua. Dan itu karena laki-laki itu. Siapa namanya?"

Ginny tahan tubuh Harry. Tangannya menekan dada pria itu. "Tenang. Ini bukan waktunya." Cegahnya. Tidak lucu Harry harus marah di rumah sakit seperti sekarang.

"Terus kamu mau tunggu Lily sampai sekarat? Kita butuh bicara dengan Lily. Begitu juga bocah laki-laki itu."

Harry masih tidak tenang. Baru saja ia sadar. Beberapa hari ini putrinya memang bertingkah aneh. Suka menyendiri, sibuk dengan ponselnya, bahkan rutin meminta burung hantunya untuk mengirim surat entah ke siapa. Lily yang akan suka jika diajak pergi, tidak sesemangat biasanya. Kalau masuk akal, ada saja alasan yang keluar dari mulutnya. Lily menghindari lingkungan sekitarnya.

Bahkan dengan ayahnya sendiri.

"Sekarang coba katakan, Gin. Apa yang membuat Lily bisa sampai seperti ini? Aku tidak yakin selama aku di luar tadi kalian tidak membahas satu topik pun tentang bocah itu."

Ginny mendengus kesal. Kebiasan sekali Harry akan cepat naik darah jika ada yang berani mengusik anak-anaknya. Terutama Lily. Sedikit saja ada yang berani membuat satu tetes air mata Lily jatuh, tidak ada ampun bagi mereka.

"Ginny, katakan!"

"Mereka putus. Lily diputuskan tiba-tiba tanpa bisa memberi pembelaan."

"Bocah brengsek!"

Amarah Harry harus tertahan, healer selesai dan bersiap menyampaikan hasil pemeriksaannya. "Sebenarnya Ms. Potter masih harus diobservasi sekali lagi. Amat sangat baik jika memperpanjang perawatan hingga beberapa hari ke depan." Tutur Healer tersebut. Menurut hasil yang didapatnya, bagian syaraf leher Lily masih cedera. Pundaknya pun begitu.

"Tapi, jika memang ingin pulang, Saya bisa memberi pilihan perawatan rumah dengan ramuan tambahan. Tapi memang biayanya diluar dari tanggung jawab perlindungan wajib. Dikenakan biaya tambahan untuk itu."

Harry tidak mau ambil pusing. "Berapapun akan Saya bayar. Jadi lakukan dan berikan perawat yang terbaik untuk putri Saya." Titahnya.

"Baik, Mr. Potter. Selama kami persiapkan resepnya, pasien sudah bisa berkemas. Nanti akan kami antarkan resep ramuan yang bisa ditebus nantinya. Kami permisi."

Harry melepas para healer keluar. Ia mencoba mengamati Lily ketika Ginny membantunya untuk bangun. Dua perempuan Potter dengan rambut merahnya. Keduanya terlihat sangat mirip. Dua orang yang sangat Harry cintai.

"Kita pulang, nanti kita lanjutkan pembahasan tadi." Kalimat itu ditujukan untuk Ginny. Meski sasarannya jelas untuk Lily.

"Harry, bisa tidak kamu bersikap biasa saja? Tenang. Kasihan Lily."

Happy Quarantine: New NormalOù les histoires vivent. Découvrez maintenant