Dear Mystery (23)

11 2 0
                                    

"Jadi Jun, menurutmu, Sotikin itu masih hidup, gak?"

Aku mungkin memang bodoh, menanyai seseorang yang mendengkur di sisiku. Tidurnya pulas begitu, sudah pasti Juna tak mendengar pertanyaanku. Entah, justru dengan dialog satu arah seperti ini, aku merasa aman, karena jujur aku takut sekali, jawabannya adalah "tidak". Tidak, mungkin Sotikin sudah tidak hidup lagi. Aku mau meyakinkan diriku, Sotikin pasti baik-baik saja, meski tidak dapat kulihat keberadaannya.

"He-eh." Suara dengkur di sisiku mereda, berganti he-eh, tanda afirmasi yang acuh tak acuh.

"Maksud elo, Jun? He-eh artinya Sotikin masih hidup? Menurut elo benar begitu?"

Sunyi senyap. Kembali mendengkur, Juna yang agaknya mengigau melanjutkan tidurnya yang lelap, walau katanya mengorok pertanda tidurmu tidak nyenyak dan kamu mengalami permasalahan bernapas. Namun, aku yakin sepenuh batinku, Juna mendengkur artinya ia tidur nyenyak dan bernapas lega. Anomali Manusia, atau Manusia Anomalia, itu julukanku untuk Juna, partner-in-crime yang sedianya kurekrut demi memberangus kejahatan Bakery Mati.

Namun, crime atau kejahatan di Bakery Mati kok rasanya elusif, ya. Ciee, boleh ya, si Bel ini berbahasa agak lumayan canggih? Elusif. Hihihihi. Tawa sinisku ini kutujukan pada Bakery Mati yang nyatanya tidak semematikan seperti perkiraanku semula. Selama masuk menjadi orang dalam, kejanggalan bakery ini cuma tanggal kedaluwarsa bahan-bahan kue yang agak mepet dan sampah dapur yang tak lazim untuk ukuran toko roti. Itu saja, sih.

Bagaimana membuktikan tujuh klien VIP yang mati mendadak bersamaan itu ada kaitannya dengan Bakery Mati? Tanda tanya yang remang-remang di mataku, mungkin lantaran aku mulai mengantuk, kurasakan lampu tidur kekuningan di kamar kami sepertinya dapat segera padam tiap saat. Sinarnya yang redup mengingatkan pada sorot kucing sekarat yang pernah kuselamatkan bertahun-tahun lalu.

Kucing malang itu akhirnya kuserahkan pada seorang teman, meski berhasil ditolong nyawanya, kudengar ia sakit-sakitan sepanjang hidupnya hingga akhir hayat. Kuingat, aku menyelamatkannya dari pinggir jalan dalam kondisi menyedihkan. Penuh koreng dan kurus kering, si kucing mengalami sakit pencernaan dan malnutrisi. Saat itu aku masih SMA, dan uang saku dari bokap kuhabiskan sebagian besarnya untuk membayar tagihan klinik hewan, tentu tanpa sepengetahuan Kak Santa yang sok mengatur keuanganku.

Si kucing bertahan hidup selama hampir lima tahun, kudengar dari temanku yang kebetulan penyayang kucing dan pernah punya shelter kucing, meski shelter-nya tak bertahan lama akibat lahannya digusur pembangunan jalan. Sejak itu, aku selalu tergugah bila melihat kucing yang memelas, termasuk Sotikin yang menyasar dalam ruko ini pun kupelihara dengan penuh perhatian.

Sotikin entah masuk dari mana, dan entah ia keluar dari mana? Eh, tunggu dulu. Apakah mungkin ada seseorang yang membawa masuk dan lalu membawa pergi Sotikin, karena orang itu punya kunci ruko sewaanku? Hah? Namun, selain aku, cuma pemilik ruko yang memiliki kunci. Masak pasutri Miko dan Tenny, pemilik ruko ini, menyusup dalam ruko yang masih disewakan hitam di atas putih? Itu kan perbuatan melanggar hukum. Setahuku keduanya terdidik dan berpengaruh di lingkungannya. Maka kupastikan status keduanya bersih, tak memenuhi kelayakan masuk daftar calon tersangka, setidaknya.

Penuh harap akan hari esok, aku pun tertidur, membayangkan kunci-kunci Bakery Mati yang jadi milik kami sepenuhnya. Juna mengeluh sebelum kami tidur, menyesal sudah membuat duplikat kunci dari tutup kalengan. Aku menghiburnya, hitung-hitung itu buat serep atau cadangan, Jun. Buat jaga-jaga dalam skenario paling buruk. Meskipun aku berharap, sutradara dalam drama thriller di Bakery Mati adalah diriku sendiri, dan aku bisa memutuskan skenario terbaik untuk menyudahi ketegangan dan ketakpastian yang melingkupi aksi kami.

Pasti ada yang tak beres dengan toko kutukan itu, aku membatin dalam tidurku.

Mimpiku malam itu seperti berlapis dua. Mimpi di dalam selubung mimpi, seperti cerita berbingkai cerita, dan kurasakan ruko yang kami diami ini diincar sosok hitam yang bergerak dalam pengintaian. Selagi pintu digeruduk musuh, aku dalam mimpi terjaga dalam mimpi lainnya lagi, menyadari pintu kayu kekuningan dalam ruang VIP ternyata menyimpan jenazah-jenazah membusuk. Beberapa di antaranya sudah tinggal kerangka dan tengkorak, beberapa lagi masih segar, mungkin belum terlalu lama putus napasnya, karena tubuhnya masih terasa hangat. Aku tak sengaja menyentuh mayat segar itu, karena ruangan penuh sesak dengan jasad mati dan aku terjebak di dalamnya, tersiksa cekikan oleh kadar oksigen menipis.

Bakery Ma(r)tiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt