#1

31 5 4
                                    

"Ya mau bagaimana lagi, aku cuma dikasih karunia untuk membayangkan sesuatu, yang mustahil jadi kenyataan." Hizkia, lelaki yang memiliki satu kaki sejak lahir asyik memegang medali perunggu yang dikalungkan di lehernya selepas dirinya dan rekan seperjuangannya mengalahkan negara Kamboja dalam pertandingan bola basket kursi roda yang memperebutkan juara ketiga. Namun, tetap saja pikiran buruknya meyakini bahwa penonton yang mengaku cinta tanah air itu lebih mengingat kejadian saat dirinya kerap terjatuh, daripada meneladani kegigihannya.

Sudah sepuluh kali telinganya mendengar ucapan menyakitkan dari orang tak dikenal. "Kok ceweknya mau pacaran sama cowok yang jadi beban tim, ya?" Bahkan, tiada seorang pun yang meminta berswafoto dengannya sejak upacara penghormatan pemenang selesai, kecuali pelatihnya dan perempuan berwajah mirip bule yang... mau menerima semua kekurangannya.

"Sepertinya enggak ada yang menarik dari aku di mata mereka." Hizkia menunduk, rasanya ingin sekali menyalahkan Tuhan atas ketidaksempurnaan yang ia pikul.

"Kalau memang iya, seharusnya aku enggak ada disini. Anggap aja orang yang menertawakanmu sudah ditelan dinosaurus."

"Aku takut sama semua hewan. Aku juga enggak bisa pasang gas elpiji. Yang bisa kumasak pun cuma air saja." Hizkia heran mengapa orang difabel seperti dirinya masih ada yang mau menetap. "Padahal, lelaki harus serba bisa dan siap jadi pelindung untuk perempuan, kan? lanjutnya sambil menundukkan wajah. "Pergilah, Mel. Selama ini aku cuma bisa menyusahkanmu. Di luar sana ada banyak orang yang menunggumu, yang bisa membawamu ke arah yang jelas." Begitulah keinginan Hizkia yang tak kunjung diutarakan.

"Mauku adalah melindungimu, Kia. dan aku siap terima semua risikonya."

Melati mengajaknya keluar dari gedung olahraga, melewati trotoar yang kebetulan tidak ada kendaraan atau angkringan yang menguasainya. Tampak pekerja bangunan yang pakaiannya basah oleh keringat itu setia membuat rumah yang justru untuk orang lain. Mungkin saja beberapa di antara mereka belum memiliki rumah untuk dirinya sendiri dan keluarga. Seketika pikiran pria yang membenci rujak lotis itu melanglang pada kejadian satu minggu lalu tatkala Hannah - Ibunya Melati - tidak sudi mempunyai menantu penyandang tunadaksa : dirinya.

"Padahal kamu lebih cocok sama Dean, anak temannya Ibu. Orangnya mapan, punya usaha sendiri, cakep pula. Lah dia ini, apa yang bisa dia kasih ke kita selain bikin malu?" wajah Hannah yang muram bak panci gosong membuat Hizkia ingin membalasnya dengan amarah yang membara, tetap ia sedang berhadapan dengan orang tua, yang bagaimanapun harus dihormati.

"Dean lagi...Dean lagi....Bisa enggak Ibu kasih kebebasan untuk aku memilih? Yang bisa bikin aku merasa cukup cuma dia...."

"Kamu ini anak Ibu. Ibu tahu mana yang terbaik buat kamu. Ibu cuma enggak mau hidupmu dibikin susah sama anak ini!

"Aku tahu selama ini Ibu sudah berkorban buat aku, tapi bukan berarti Ibu boleh sewenang-wenang sama aku!"

"Ibu sudah susah payah melahirkanmu dan merawatmu, tapi kamu justru melukai hati Ibu!" Harusnya kamu sadar kalau selama ini kamu dipengaruhi orang bodoh ini buat berani sama Ibu!"

Hizkia yang hatinya porak-poranda itu berusaha keluar dari neraka itu dengan sekuat tenaga. Pada hari itu, benang kawat yang digunakan untuk menyambung kedua kaleng itu seakan terputus. Melati yang memutuskan untuk mengejarnya dan berusaha memberi penjelasan justru dipaksa untuk menyerah.

"Aku mau pulang sendiri, Mel. Tuhan benar-benar pilih kasih dan tak adil. Seharusnya tidak ada manusia yang terlahir tidak utuh. Atau seharusnya aku dibuang sejak lahir daripada hidup namun tak bisa berjalan. Mulai sekarang kita putus. Aku enggak mau kebahagiaan orang tuamu rusak karena kehadiranku!"

Hizkia bukanlah orang yang pantang menyerah ketika menemui hambatan. Memilih mundur jika dirasa ada jalan buntu. Ia tahu perasaan bukanlah kebenaran yang pasti. Ia juga tahu logika perlu diandalkan karena masalah tak bisa diselesaikan semudah pengendara yang mengebut di keramaian. Namun, ia telanjur sakit hati oleh penolakan yang terlontar dari keluarga Melati. Penolakan yang membuatnya ingin menutup usia. Ia tak peduli lagi dengan ucapan semangat yang telah kedaluwarsa.

Paginya, Melati datang ke hotel tempat Hizkia menginap dan melihat para atlet saling mematung. Didapati Hizkia tergeletak di lantai kamar dengan detergen cair yang berceceran, lalu dipeluknya tubuh pria itu beserta tangis yang pecah. Lahirlah niat dari perempuan yang separuh napasnya hilang itu untuk balas dendam terhadap siapa pun yang membuat kisah kasihnya dengan Hizkia menjadi kandas. Seketika ia teringat juga ketika pria itu berbohong setiap membawa botol minum yang berbau aneh. Ini susu segar, Mel. Belinya enggak jauh dari rumahku. Aku suka meminumnya sejak kecil. Tidak ada napas yang berembus dari hidungnya. Tidak ada surat wasiat yang ditinggalkannya. Media-media menjadi ramai memberitakan ketewasannya. Dan ketika ia dimakamkan, Melati memeluk nisan kayu bertuliskan nama pria yang dicintainya, berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi. Sayangnya, waktu seperti barang belanjaan. Tidak dapat dikembalikan.

"Aku akan segera menyusulmu, Kia, atau aku akan menghilangkan nyawa kedua orang tuaku yang telah merusak impian yang telah kita buat... agar kamu bisa bernapas lega di keabadian!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita Mini: Hizkia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang