運命

193 29 0
                                    

Langit malam itu tengah cerah. Meski sang bulan tak kelihatan, hamparan gemintang sejauh mata memandang lebih dari cukup memberi penerangan di halaman belakang rumah kecil itu.

Mafumafu menyeka peluh di dahi setelah menancap sekop di sisi kanan. Ia baru saja membantu Soraru memakamkan empat buah hatinya. Sempat terbersit pertanyaan di hati Mafu mengapa orang ini tidak melapor saja ke polisi. Tapi kemudian, ia batal bertanya tatkala mengingat kondisi umum dunia saat ini. Melapor ke polisi sekarang seringkali mendapat penanganan yang buruk dan akan memakan waktu lama untuk diproses.

Apalagi, Mafu yakin para polisi itu pasti masih sangat sibuk memburu dirinya.

Sejenak ia lirik Soraru yang masih menyawang sendu nisan batu sederhana di hadapan mereka. Wajah itu jelas teramat kuyu, kehilangan semangat hidup. Mengetahui ini Mafumafu tersenyum tipis. Kemudian, ia merogoh saku untuk menebar sesuatu di atas empat makam kecil itu.

"Kau menabur apa?" Soraru yang penasaran bertanya pelan. Mafu terkekeh ringan, "Ini bibit bunga daisy putih. Aku memungutinya selama perjalananku kesini tadi karena mereka cantik. Siapa sangka akan berguna di situasi begini?"

Sepasang alis si raven bertaut, "Untuk apa menebarnya di atas makam?"

"Daisy putih adalah lambang kepolosan dan kemurnian. Dia juga bermakna cinta sejati yang tulus dan hangat. Selain itu, pasti akan cantik sekali kalau bunga-bunga ini tumbuh dan bermekaran di atas tempat mereka beristirahat, bukan? Anak-anak Soraru-san pasti lebih senang kebun mereka dihias dan terlihat nyaman," Mafumafu menjawab dengan nada yang ringan.

Senyuman tipis tersemat pada bibir pucat Soraru. "Mafumafu-san sangat peduli pada mereka, ya?"

"Sejujurnya aku ingin main dengan mereka," celetuk si albino menyentak si raven, "Aku lihat foto mereka di dalam tadi. Mereka menggemaskan sekali. Aku yakin mereka pasti anak-anak yang manis dan baik. Sayang sekali aku datang terlambat..."

Kali ini Soraru terkekeh kecil. "Mafumafu-san suka anak-anak?"

"Ah... sebenarnya tidak juga," pemuda itu menggaruk tengkuk, "aku tidak tahu bagaimana menghibur dan menyenangkan hati anak kecil. Wajahku lumayan seram, kan? Kurasa mereka malah akan takut padaku."

"Tidak seram, kok," tukas Soraru cepat, "kau punya paras yang tampan, tapi manis juga. Tidak kelihatan seram sama sekali, loh."

"Eh?"

Mafumafu sedikit terperangah. Mulanya Soraru bingung apa sebabnya, sampai kemudian ia merekognisi apa yang baru terucap spontan dari lisannya.

Sontak si lelaki raven gelagapan menutup mulut dengan wajah yang merona merah. "Ah!-- Etto... M-maaf, aku spontan... Ak-aku hanya refleks mengatakan apa yang kupikirkan..."

Mafumafu tergelak kecil. Semburat merah muda turut bersemi di pipi pemuda itu. "Baru kali ini ada yang bilang aku tampan."

Perkataan itu membuat Soraru yang semula malu salah tingkah terdiam. Ia bertanya murni karena bingung, "Benarkah? Kukira kamu orang yang populer... Tidak cuma tampan, tubuhmu juga tinggi dan berpostur bagus."

"D-duh, hentikan, dong," tangan si albino bergerak menutupi semburat yang makin jelas di wajahnya, "Soraru-san terlalu memujiku..."

Sebentar setelahnya Mafu berdehem. "Yah," kata dia, "skenario itu terlalu bagus buatku. Sebaliknya, Soraru-san, hampir semua orang membenciku."

"Membencimu?"

Mafu mengangguk. "Sejak kecil aku sebatang kara. Orangtuaku menjadi salah dua dari ratusan ribu orang yang tak selamat 12 tahun lalu. Kemudian aku jadi ikut Bibi dan Paman. Pamanku pemabuk berat dan suka menghambur uang untuk judi, sedang Bibi bekerja di distrik merah. Tiap hari mereka selalu bertengkar dan aku kerap terseret dalam arusnya. Aku seperti beban yang harus mereka tanggung di rumah. Mungkin karena itu, mereka jadi ringan tangan terhadapku. Di sekolah pun, aku... dibuli hampir semua orang. Baik teman angkatan maupun bukan, sekelas ataupun tidak, mereka sudah menganggapku sebagai kasta terbawah. Guru-guru juga kebanyakan terkesan tak peduli..."

HiraethWhere stories live. Discover now