10

7.3K 736 51
                                    

"Apa kita bisa kembali untuk memperbaiki semuanya? Kamu mau rujuk sama aku?"

Pendengaran Eva terasa menuli selama beberapa detik setelahnya. Ucapan Tama seolah terdengar laksana petir di siang bolong yang memekakkan telinga. Ba—bagaimana mungkin? Setelah semua yang terjadi, setelah kesempatan kedua yang diberikannya dan ... setelah kepergian putrinya? Rujuk? Oh, ayolah. Ini konyol.

Eva melepaskan genggaman itu secara paksa. Tama menatap pasrah. Laki-laki itu jelas tahu jawaban mantan istrinya. Diamatinya Eva yang menyeruput kopi yang sudah dingin. Wanita itu mengembuskan napas seraya menatap ke arah langit-langit.

Astaga, ini sungguh amat menyiksa. Semua yang dilaluinya selama ini sangatlah berat. Perceraian bukanlah hal yang mudah, terlebih untuk ketiga anaknya. Mental mereka terkoyak.

"Sorry, Tam. Aku nggak bisa. Aku pernah kasih kamu kesempatan waktu itu. Saat itu, anak-anak yang jadi pertimbangan terbesarku. Tapi, ternyata kamu terlena dengan kepercayaan dan kesempatan yang aku kasih."

"Tapi, Va. Kita nggak akan tau gimana hasilnya kalau nggak dicoba," sahut Tama. Eva menggeleng. "Aku janji ke kamu untuk menebus semuanya."

"Aku nggak suka coba-coba untuk masalah masa depan. Aku pernah coba-coba kasih kesempatan ke kamu, berharap kamu kembali ke kami. Tapi ...."

Tama menelan ludahnya kasar. Sebesar apapun usahanya, Eva tak akan pernah kembali lagi padanya. Ia menatap raut wajah ayu Eva. Wanita itu jelas terlihat jauh lebih bahagia ketimbang beberapa bulan yang lalu, saat masih menjadi istrinya.

Tama masih ingat betul bagaimana hatinya bisa terpaut pada sosok Eva. Kecantikannya yag natural dan sosoknya yang independen menjadi daya tarik tersendiri baginya. Ia merasa menjadi pemenang saat berhasil mendapatkan Eva, tentu setelah mengalahkan beberapa pria yang juga menaruh minat pada wanita itu.

"Sudah saatnya untuk masing-masing dari kita menata kehidupan." Eva kembali bersuara. "Anggap apa yang terjadi sebelumnya sebagai salah satu kisah dalam perjalanan hidup kita. Aku nggak bisa terima tawaran rujuk yang kamu ajukan. Selama ini, aku sibuk berpikir apa yang kurang dari aku yang akhirnya buat kamu berselingkuh. Aku harap kamu bisa dapat perempuan yang jauh lebih baik dari aku, Tam."

"Va ...."

Kamu yang terbaik, Va. Demi Tuhan!

"Kalau sudah dapat, pelan-pelan kamu kenalkan ke anak-anak karena dia akan jadi ibu sambung untuk mereka. Kamu mau tinggal untuk makan malam atau ...." Ucapan Eva terjeda saat melihat Tama yang sudah berdiri dan memakai jaketnya. "Kamu mau pulang?"

"Iya. Aku mau pulang. Nggak mungkin aku stay sampai makan malam. Sam nggak akan nyaman sama kehadiranku."

"Okay. Mungkin suatu saat nanti kita bisa makam malam bareng di satu meja, saat dia sudah benar-benar menerima dan maafin kamu."

"Semoga."

"Tam, kalau kamu mau sering datang, aku nggak akan larang. Kamu juga boleh coba ajak anak-anak pergi, kalau mereka mau. Aku nggak akan membatasi pertemuan kamu sama mereka. Aku mau mereka tetap ingat sama ayahnya."

Eva mengantar kepergian Tama. Dari ambang pintu ia menyaksikan punggung tegap itu yang terlihat sedikit rapuh. Mobil Tama sudah menghilang dari pandangannya. Wanita itu kembali masuk. Dua jam lagi sudah waktunya makan malam. Saat di dapur, Mbak Maryam sedang membereskan cangkir dan piring kotor.

"Di kulkas masih ada fillet kakap yang sudah saya bumbuin, Mbak. Digoreng tepung aja, terus kasih bumbu asam manis. Sisa daging tumis kecap sama bihun sekalian dipanasi."

"Siap, Bu. Sekalian masak sayurnya juga, Bu?"

"Boleh. Tumis yang simpel aja. Mbak Mar kan juga pasti capek bantu saya selesein pesanan."

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now