24. Licik

18 6 0
                                    

Sebuah mobil hitam datang lalu berbelok ke area parkiran. Seorang gadis, bunganya sekolah Tahfiz datang sehabis dari kampus. Kedatangan Ustazah Indah mengundang banyak pasang mata tertuju padanya. Ia memakai baju ala ala cewek bumi, outfit rok dipadu dengan tunik serta hijab syar'i yang menutup bagian dada.

Baru saja hendak masuk kantor, langkahnya terhenti melihat Nata berjalan bersama Liana, santri yang sekarang membuatnya iri, kehadirannya lah Nata kian hari makin berubah. Indah tersenyum penuh arti setelah ide licik muncul di kepalanya, lantas ia berjalan masuk kantor tanpa beban.

Beberapa saat kemudian, ketika Liana sedang duduk di dekat pekarangan, ia menumpukan kedua tangan pada lutut, merasa lelah setelah mengangkat beberapa barang. Yang awalnya mood Liana bagus, perlahan jadi tidak mood seiring langkah Ustadzah Indah mendekatinya.

"Assalamualaikum, Liana!" Sapa Indah dengan senyum manis.

Liana tersenyum paksa, "Walaikumusalam Ustazah."

"Saya boleh nggak nih, minta tolong."

Badan Liana mendadak tegak, "Boleh, memangnya apa, Ustadzah?"

"Ambilin pot bunga mawar di gudang, terus potnya kasih ke Ustadz Nata."

Usai nama Nata disebut, semangat Liana jadi membara. Liana juga tak tau semangat macam apa yang membuat dirinya langsung mengiyakan permintaan Ustadzah Indah. "Kalau gitu, saya ke gudang dulu." Gerak cepat gadis itu melesat langsung hilang bagai asap. Kekuatan anime menyertainya.

Sesampainya di gudang, keadaan sunyi dan hening, tak ada seseorang di sana. Tanpa pikir panjang, Liana langsung masuk dan mencari pot bunga mawar seperti yang diminta oleh Indah. Tanpa sadar, pintu langsung tertutup keras hingga Liana terkejut bukan main. Liana berlari ke arah pintu, membuka kenop pintu namun pintu tak bisa dibuka, seperti ada yang mengunci dari luar.

"SIALAN! TOLONG! BUKAIN WOI!"

Liana berteriak kencang. Berkali kali ia menendang pintu sampai kakinya sakit, memukul mukul pintu berharap dari kebisingan yang ia buat seseorang akan mendengar dan menghampiri. Nyatanya tidak. Tubuh Liana bersandar pada pintu lantas merosot ke bawah, lelah.

Kenapa di saat seperti ini, ia ingin menaruh buruk sangka pada Indah, tetapi, Indah terlalu baik bukan untuk mengisenginya? Ia saja kalau mau iseng harus fikir panjang dulu. Pada akhirnya ia berburuk sangka pada Nata, siapa lagi yang berani seperti ini padanya kecuali Nata?

"Dasar ketiak kuda! Gua nggak akan taruh rasa lagi sama lo!"

♡♡♡

Harun dan Haura tiba di sekolah, Nata yang baru saja keluar dari kantor langsung membantu mengangkat barang bawaan mereka. Melihat Liana tidak ada, Haura bertanya, "Ustadz, liat Liana nggak?"

Nata menggeleng, "Tadi sih ada, sekarang nggak tau, mungkin lagi eek."

Harun spontan tersedak mendengar penuturan Nata, ia terbatuk batuk hingga matanya berair. Tangan Nata terulur mengusap punggung Harun.

Haura berdiri, membuat Nata dan Harun tercengang bersamaan, "Izin ke toilet."

Usai punggung Haura menghilang, Harun bernafas lega, beban di pundaknya terangkat sempurna. Ia memegang dada yang sedari tadi sesak. Nata penasaran ada apa dengan Harun, "Kenapa?"

"Saya sepanjang jalan di omelin si Haura, Ustadz."

Nata terkejut, "Hah, emang ada masalah apa?"

"Saya lupa sama kunci motor," Harun mengangkat kunci yang berada di jari telunjuk, "saya kira ilang, taunya di dalam peci."

Nata menghela nafas panjang, Harun memang pelupa seperti Liana. "Gimana? Haura serem nggak kalau marah?"

Harun tertawa tidak jelas, "Nggak serem, Ustadz. Haura kalo ngomel mukanya lucu, mirip bayi koala."

Jika saja Haura mendengar, sudah pasti sendal karet akan segera mendarat di wajah Harun.

Tiba di toilet, Haura tidak mencium aroma Liana, biasanya dari jauh pun hidung Haura mencuat sangat kenal dengan wangi parfum Liana yang begitu khas. Pintu toilet juga tidak ada yang tertutup, ah kemana sih anak itu? Tidak mungkin kan sembunyi lagi?

Waktu berlalu, awalnya Haura biasa saja karena mungkin Liana pergi dan kembali lagi ke kelas. Nyatanya tidak, sholat magrib pun Liana kunjung datang, membuat Haura mulai panik. Tidak ada yang bisa membuatnya sepanik ini kecuali si bocah cilik bernamakan Liana Zahira.

Usai sholat magrib, Haura menghampiri Harun disaat ia lagi memasang sendal, "Harun, kok Liana nggak ada? Liat ngga?"

Membenarkan peci, ia bertanya, "Emang dia ke mana?"

Orang lagi nanya dia malah balik nanya, mana pertanyaaannya tidak berkualitas, "Aku nanya ke kamu, bukan mau ditanyain balik."

"Tu anak ngilang lagi?" Sudah pasti setelah ini mencari Liana, gadis itu, bikin kerjaan orang aja.

"Temenin aku nyari Liana," pinta Haura.

Harun spontan menoleh dan menunjuk disertai tersenyum meledek, "Kenapa? Takut ya?"

Haura merasa kesabarannya benar benar di uji semenjak Harun hadir dalam hidupnya, tidak ada yang bisa membuatnya emosi dan panik kecuali Harun dan Liana. Dua orang ini sama saja, suka sekali memancing emosi.

"Ngomong sekali lagi, mulutmu itu aku sumpel tanah merah," ucap Haura sebal.

Mereka berjalan menelusuri sudut manapun, tak lupa memanggil manggil nama Liana. Setelah dicari cari tak juga gadis itu muncul, akhirnya hampir sampai di paling pojok, ruang gudang, di lantai atas. Haura agak merinding karena sedari tadi bulu kuduknya berdiri semua. Jika saja Harun tak menemani, mencari Liana mustahil bisa sampai lantai atas.

"Liana, lo denger gua nggak?" teriak Harun mengisi kekosongan terowongan yang minim cahaya lampu, karena memang lantai atas belum ditempati, masih dalam tahap renovasi.

Suara Harun langsung membangunkan Liana yang tengah tertidur dengan posisi memeluk lutut. Ia bangun dan menggedor-gedor pintu hingga suaranya mengundang Harun dan Haura segera menghampiri kalau di dalamnya ada Liana.

"Heh anak setan! Kemana aja lo bedua, lama amat nyari gue," teriak Liana bersumpah serapah di balik pintu.

"Gue nggak tau, lagian napa juga lo jadi kekonci di sini." Harun mendengus ketika gembok besi terkunci rapat.

Harun menoleh ke Haura, "Gue ngambil kunci di kantor dulu."

Setelah diberi anggukan oleh Haura, Harun langsung berlari menuruni tangga menuju ke kamtor, di depan kantor ia bertemu Nata, hampir saja mereka bertabrakan. "Harun, habis dari mana? Mukanya panik banget."

"Liana kekonci di ruang gudang, Ustadz."

Sat set sat set langkah Harun dan Nata sudah sampai di lantai atas, tak bisa dipungkiri Nata terkejut melihat seorang gadis terduduk termenung di pojokan serta di atasnya terdapat lampu yang sangat redup, rupanya itu Haura menunggu kadatangan mereka. Sesampainya di depan pintu gudang, Nata langsung membuka gembok dan keluarlah Liana pada akhirnya. Bukannya berterima kasih, ia justru menampilkan wajah kesal pada Nata. Nata yang tidak tahu apa apa jelas kebingungan.

"Ustadz ya, yang ngisengin saya?"

Pertanyaan itu membuat alis mereka serempak menukik ke bawah, "Hah?"

"Siapa lagi yang berani ngunci saya kaya gini kecuali Ustadz Nata sendiri."

Nata mengerjab, mengapa Liana menuduhnya tersangka, padahal ia juga sibuk di kantor setelah meminta bantuan Liana sore tadi. Ingin Nata menjelaskan itu bukan salahnya, Liana sepertinya juga tak ingin mendengar, gadis itu langsung berjalan laju di iringi dengan Haura menuju toilet.

"Ngambek lagi ya Allah." Nata melapangkan dada sendiri.

Anata!Where stories live. Discover now