Part 1 - Awal Mula

136 14 8
                                    

Allah tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Namun, terkadang manusia lupa saat segala sesuatu berjalan tak sesuai keinginannya.”

***

Tenda plafon bergerak-gerak seiring dengan angin yang berhembus kencang. Acara pernikahan outdoor memang lebih menyengarkan. Apalagi jika resepsi diadakan pada jam malam, upacara pernikahan ini terlihat sempurna. Sesaat aku juga ingin bisa merasakannya nanti. Namun, sepertinya mustahil.

“Widih, siapa nih yang dateng? Ikon sekolah kita dulu yang selalu juara 1 dan masuk di universitas bersengsi, kerja apa sekarang?”

Pertanyaan itu ditujukan padaku tepat ketika aku menyibakkan rambut lalu duduk.

“Udah nikah pasti kamu, kan? Makanya jarang ada kabar.”

“Iya nih, gak pernah muncul di sosmed juga lagi. Dasar, kayak orang penting aja.”

“Haha, itu …”

Aku sudah menduga, ekspektasi orang-orang padaku selalu berlebihan. Jadi, aku menutupi perasaan sesak dengan tawa. 

“Sebenarnya, aku-”

Belum sempat aku memberi jawaban, seseorang sudah menyahut bagai hantaman.

“Ck! Ck! Udah lama gak ketemu, aku pikir penampilanmu bakal lebih wah. Tapi, ternyata sama aja ya, Nayla? Malah sekarang kamu jadi lepas kerudung begini? Apa itu tuntutan kerjaan? Tapi, bukannya jurusan kamu dulu ekonomi syariah ya?”

Pertanyaan itu membuatku tertunduk sebentar untuk menahan diri lalu menoleh dengan senyuman.

“Hei, Tiara. Gimana kabarnya? Tambah cantik aja ya sekarang?” ujarku berjeda. “Ngomong-ngomong soal pekerjaan, aku denger kamu cuma diem di rumah karena suami kamu udah kaya raya? Wah, enak sih. Tapi, apa gak bosen kalau jadi porselan rumah mewah?”

Wanita di depanku yang mengenakan long dress brokat dengan banyak perhiasan di tangannya, mengepalkan telapak. Dia memaksakan senyum.

“Masih mending begitu, daripada jadi perawan tua gak laku? Lagaknya aja dulu pacaran sama Kak Lana sampai bikin heboh satu sekolah, tapi ternyata dia nolak nikahin kamu, kan?”

Tiara bertopang dagu.

“Haha … kalau aku jadi kamu, aku udah gak punya muka buat dateng ke acara nikahan sahabatnya ini.”

Dadaku bergetar mendengar ejekannya. Untung saja, teman-teman yang tadi sempat menggodaku tidak ikut menyahuti ucapannya dengan ejekan. Ya, setidaknya mereka masih cukup segan untuk melakukannya pada orang yang selalu menjadi guru les gratisan mereka di sekolah dulu.

Dengan berat hati aku tersenyum.

“Ra, apa kamu pernah dengar ungkapan kalau air mata dan kesedihan itu kemewahan bagi orang miskin?”

“Ha, apa maksudnya itu? Kamu mau nyoba pamerin pengetahuan kamu di depan kita? Tapi, ya ampun buat apa gelar tinggi, tapi akhirnya gak jadi apa-apa?”

“Hah …” 

Aku menghela napas dan memiringkan bibir. Tiara tak berubah, dia hanya tahu untuk menjatuhkanku setiap ada kesempatan. Aku bahkan heran karena seakan kami berdua punya dendam. Padahal, sepertinya aku tak pernah berbuat kesalahan besar padanya? Tapi, siapa yang tahu? Bisa saja memang ada perkataanku dulu yang menyakitinya, kan?

Hatiku berdenyut-denyut, tapi aku berusaha biasa saja.

“Maaf, kalau kamu pikir itu pamer, kamu salah. Apa yang aku bilang tadi, cuma ungkapan sederhana. Sebuah pengibaratan kalau orang miskin itu harus terus bekerja keras. Mereka bahkan gak ada waktu buat berduka. Karena itu air mata dan larut dalam kesedihan adalah hal mewah bagi mereka.”

Di antara 2 GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang