[BibleBuild] Until The Sun Rises

466 17 1
                                    


.

.

.

"Lo gak bisa terus-terusan telpon gue kalo lo sedih, Bia," kata Wicha, asap rokok ia hembuskan ke pekat malam yang Bia pun tidak peduli seberapa dinginnya, "...lo harus coba sembuhin yang kayak gini sendiri."

Kadang lucu, menurut Bia, bagaimana Wicha bicara dengan nada rendah tapi sayatnya nyata di dada Bia. Andai Bia lebih rasional sedikit saja, mungkin ia sudah berhenti sejak lama — berhenti memohon pada Wicha yang menatap matanya saja dangkal, seperti menghindari konsekuensi yang didatangkannya.

Hari itu jam tiga pagi di lantai teratas gedung apartemen tua Bia, lembab dan gelap, yang terlihat jelas hanya nyala api dari ujung rokok Wicha.

Bia memeluknya, menelusupkan ujung hidungnya yang memerah ke punggung lapang Wicha. Udara dingin Jakarta setelah hujan tidak bersahabat dengannya. Dengan orang-orang yang lebih mengikuti perasaan dibandingkan pikiran mereka — orang-orang yang mencari perlindungan pada bongkahan hati yang sama dinginnya. Seperti Bia. Yang berharap kehangatan di ujung jari Wicha seolah mereka bisa mencairkan bekunya, sedangkan jemari itu menorehkan luka yang sama dalamnya.

"Aku tau," kata Bia. Wicha bersandar di pagar besi setengah berkarat dan sisa hujan membuat titik basah di bahan celananya. Bia mengalungkan tangannya ke pinggang Wicha, ia tautkan jemarinya di depan ulu hati Wicha. Apa mungkin di sana seharusnya tempat Bia, kalau Wicha punya sedikit cinta untuknya? Di sini, tepat di bawah telapak tangan Bia yang hampir gemetar dalam diamnya.

Bia mendongakkan sedikit kepalanya, bibirnya ia kecupkan ke leher Wicha, di mana kehangatan lelaki itu paling terasa. Wicha bergeming, membiarkan Bia menyentuhnya seolah kontak itu bisa menghidupkan hati mereka berdua.

"Aku selalu suka ini. Nunggu matahari terbit sama kamu."

Wicha menghirup rokoknya lagi, kali ini lebih dalam — berhenti sepersekian detik, membiarkan toksin merasuk ke paru-parunya.

"Lo selalu kayak gini," kata Wicha. Suaranya parau — tapi ada sedikit tawa miris di nadanya.

Bia mencium tengkuknya lagi, kali ini bersuara. "...kayak gimana?"

"...kayak orang cinta beneran."

Bia hampir meringis dibuatnya. Matanya memanas, Bia ingin menangis keras-keras, andai saja dia bisa.

Seperti ada beban berat menimpa dadanya — aneh, pikir Bia, bagaimana perih bisa memenuhi rongga kosongnya.

"...tapi aku memang cinta kamu beneran, Wicha."

Suara Bia bergetar, dan dia tau dari cara Wicha menundukkan wajahnya, kalau Wicha mengerti itu artinya apa.

Wicha sering berpura-pura, menurut Bia.

Seperti bagaimana Wicha memasang ritsleting jaketnya sampai menutup bekas merah keunguan dari Bia di lehernya. Seperti bagaimana ia memejamkan mata ketika mencium bibir Bia — seolah menolak kalau Bia lah yang ada di dalam dekapnya. Seperti bagaimana Wicha langsung memakai baju seolah Bia tidak tau ada bekas kuku Bia sendiri di punggungnya.

Wicha sering berpura-pura seolah Bia bukan siapa-siapanya.

Wicha, dengan lembut, melepaskan pelukan Bia. Ia kemudian memutar badannya agar menghadap Bia — menantang matanya seolah Bia tidak tau seperti apa wujud luka di air mukanya.

"...lo cuma sedih," kata Wicha, suaranya rendah, suara angin hampir menutupinya, "...cinta dan sedih itu beda, Bia."

Kadang Bia berpikir, mungkin orang seperti Wicha tidak mengerti perasaan yang kompleks seperti cinta. Wicha kenal hitam dan putih — sedih dan bahagia. Bia kadang penasaran, apa Wicha tau kalau manusia bisa merasakan banyak hal dalam waktu yang sama? Dan seringkali, perasaan-perasaan itu kusut dan bertali, sesak, serampangan, kadang bercampur dan diam mengendap dalam waktu yang lama.

[BibleBuild] Until the Sun RisesWhere stories live. Discover now