BAB 10: HELLO, JAKARTA!

10 4 0
                                    

Lima menit menuju pukul tujuh, bus memasuki terminal Lebak Bulus. Banyak angkot dan bus yang berhenti di bagian dalam teminal. Beberapa tampak baru saja menurunkan penumpang. Banyak pula yang akan memulai perjalanannya. Beberapa orang dengan kardus dan tas besar berjalan menyusuri tengah terminal. Tampak juga petugas bus yang tengah mencuci bus mereka.

Raline sudah bangun sejak subuh, ketika bus melaju kencang di jalan tol. Dia sempat melihat petugas pintu tol yang tampak lelah saat melayani kendaraan akan masuk gerbang tol.

Sebuah panggilan masuk ke handphone Raline.

"Halo, Raline!" sapa suara di seberang.

"Halo, Eyang...." Jawab Raline gugup. Muncul nama Eyang Utomo di layar handphone sebelum dia mengangkatnya tadi.

"Eyang tunggu kamu di dekat mushala. Di pojok terminal, ya."

Raline mengamati kondisi luar. Dia mencari-cari di mana mushala yang dimaksud Eyang Utomo. Akhirnya dia menemukan sebuah bangunan di dekat pintu keluar terminal di mana banyak orang sedang duduk di pelatarannya.

Setelah turun dari bus, Raline menenteng barang bawaanya menuju tempat yang diminta eyang. Raline kesulitan membawa ransel, tas, dan juga kardus oleh-olehnya.

Tiba-tiba matanya menangkap sesosok cowok yang baru saja turun dari buis. Cowok itu sangat mirip dengan sosok yang selama ini dinantinya, Zidan. Karena pandangannya fokus pada cowok itu, Raline tak sengaja menabrak sepeda yang terparkir di pinggiran trotoar. Dia terkapar di aspal bersama sepeda itu. Cowok yang tadi diamatinya sudah hilang. Dan hati Raline kecewa. Itu tadi hanya orang yang mirip Zidan.

Buru-buru Raline bangkit dan mencoba mendirikan sepeda yang ikut tumbang bersamanya tadi. Karena tangan kirinya masih menenteng tas, dia malah membuat sepeda yang hendak dia dirikan menyeret aspal.

"HEI!" terdengar suara teriakan tak jauh dari posisi Raline. Seorang cowok bertubuh cukup tinggi mendekatinya. "Lo nggak apa-apa, kan? Ada luka?" tanya cowok itu tanpa memandang Raline.

"Nggak," sahut Raline.

Cowok itu lalu memandang Raline dengan tatapan heran. "Gue nggak nanyain lo. Gue nanyain si Kaisar," jawabnya.

Dahi Raline mengernyit. Dia tak mengerti apa yang dimaksud cowok itu.

"Tuh, kan, lo luka parah. Goresannya lebar banget!" Cowok itu menunjuk bagian sepeda yang tergores aspal karena diseret Raline tadi. "Lo sadar, nggak, udah nyakitin Kaisar?" Cowok itu menatap Raline. Bukannya menatap dengan marah, cowok itu malah menatap Raline dengan tatapan putus asa.

Raline masih menggeleng, belum mengerti. Dia tak tahu siapa Kaisar itu.

"Sekarang lo musti minta maaf sama Kaisar," perintah cowok itu. "Minta maaf sama sepeda gue."

Raline melongo. Dia akhirnya tahu kalau Kaisar yang dimaksud cowok itu adalah sepeda bercat hitam usang yang ditabraknya tadi. Tapi, dia heran kenapa cowok itu malah menyuruhnya minta maaf pada sepeda. Dia curiga kalau cowok itu agak stres.

"Kamu waras?" tanya Raline polos.

Cowok itu terperanjat mendengar pertanyaan Raline. "Apa gue kelihatan kayak orang sinting?" Dia tanya balik. "Lo udah bikin makhluk lain terluka. Jadi, lo musti minta maaf."

"Oh, maaf. Aku nggak sengaja."

Cowok itu menggeleng. "Jangan minta maaf ke gue. Minta maaf sama Kaisar." Dia menunjuk sepedanya.

Raline ikut menggeleng. Dia merasa tak waras jika harus menuruti apa yang diminta cowok itu. Raline pun membalikkan badan, meninggalkan cowok itu. Dia yakin cowok itu memang sinting.

DEAR UMBRELLAWhere stories live. Discover now