XVIII

435 55 24
                                    

An : ga jadi ending

...

Pagi hari di mana kini Wira tengah mengantarkan Victoria ke sekolah barunya. Kalau kalian bertanya, kenapa bisa cepat sekali Victoria masuk ke sana? Oh kalian harus mencoba tentang prinsip alumni.

Maksudnya, orang dalam, mumpung kepala sekolahnya ternyata kakak kelas yang mengenal Irsan dan Wira, jadi mudah sekali rasanya langsung meminta agar Victoria menjadi murid baru di sana. Lagi pun, Victoria yang minta sekolah di sana, katanya ingin merasakan sekolah di tempat kedua orang tuanya dulu.

"Baik - baik ya, ucapannya dijaga, jangan hobi adu mulut lagi-"

"Mama bawel banget."

Wira berkacak pinggang mendengar ucapan Victoria, "kurang ajar, mama bawel karena dulu mama capek ya dipanggil ke konseling gara - gara kamu bikin onar, pokoknya mama ga mau kamu bikin onar di sini, kalau ada panggilan konseling, mama ogah kemari."

"Papa aja kalau gitu yang datang-aduh!" Victoria mengelus dahinya karena tadi Wira menjitak dahinya, sepertinya Wira terlampau kesal karena disela saat bicara.

"Udah sana masuk kelas, mama mau ke pengadilan, jangan nakal, ingat ucapan mama, jangan masuk telinga kanan keluar telinga kiri." 

Setelah percakapan lumayan panjang itu, akhirnya mereka berpisah, Victoria yang masuk kelas dan Wira yang langsung masuk ke dalam mobil. Ah ya, itu mobil milik ayah Wira, lumayan masih bagus, sedan pula, sama seperti mobil Wira yang kemarin Wira minta temannya untuk menjualnya saja karena tak ada jaminan Wira kembali ke Jakarta.

Kala masuk ke dalam mobil, wajah Wira nampak kesal sekali, membuat Irsan jadi bertanya - tanya. Ada apa dengan Wira? Tidak biasanya menampakkan wajah kesal setelah mengantar Victoria.

"Eh... kita ke rumah orang tuaku dulu mau ga? Mau sungkem."

"Terserah."

Satu kata yang cukup membuat Irsan tahu kalau Wira tengah dalam suasana hati yang buruk. Irsan memang berniat mengajak Wira ke rumah orang tuanya, hitung - hitung minta maaf karena lama tak pulang, takut nanti ia dan Wira tak berkah pekerjaannya.

"Yang bener ah, jangan terserah, mas bingung sayang." 

Wira mendengus kesal, "iya deh ayo ke rumah bunda sama ayah dulu, kangen."

Irsan tersenyum tipis, "gitu dong, deal ya ke rumah bunda sama ayah."

Wira tak menjawab, membuat Irsan lantas menghela nafas berat dan akhirnya menjalankan mobil saja daripada nanti semakin kusut wajah Wira karena ia terus bertanya.

Selama perjalanan, hanya lagu yang menemani mereka, tak ada mereka buka suara, karena Irsan sendiri tidak berani, apalagi dapat menebak betapa buruknya suasana hati Wira. Kalau nanti Irsan bicara, pasti Irsan akan kena semprot, jadi ia memilih untuk diam saja.

Sampai akhirnya mereka sampai di rumah Irsan yang rupanya tak begitu jauh dari pengadilan, dapat Irsan lihat sang bunda yang nampak kaget melihat mobil di perkarangan rumah, dan kala Wira lebih dulu keluar, sang bunda dengan senang hati langsung menyambut Wira dengan pelukanya.

"Duh anak bunda, apa kabar? Sehat?" Wira mengangguk kecil, lantas mengeratkan pelukannya pada mertuanya itu.

"Ini anak kandungnya siapa sih? Perasaan kalau kita ke sini cuma Wira yang dipeluk." Irsan berceletuk tiba - tiba, sok cemburu ceritanya.

"Anak bunda ga ada yang bajingan kaya kamu." Irsan seketika tersenyum getir, harusnya ia ingat kalau yang memarahinya habis - habisan kala ia main belakang dari Wira adalah sang bunda, bonus juga pukulan dari sang ayah.

Jaksa Aktivis | Sanwoo/Woosan [END]Where stories live. Discover now