2. Reuni Yang Disengaja

516 102 21
                                    

Tiga tahun kemudian

"Jangan di sini, Mas. Iva baru datang."

Semampuku, aku berusaha mengelak dari ciuman bertubi-tubi yang dilancarkan Mas Ray. Kucoba turun dari meja bar mini yang ada di ruang makan di mana aku duduk sekarang, tapi Mas Ray dengan sigap menahanku. Kedua kakinya yang sudah berada di antara kakiku tidak mau bergeser sedikit pun. Ia justru semakin menekan bukti gairah di balik celana katun hitamnya ke area sensitifku. Sial. Aku benci seperti ini. Mas Ray selalu sukses membuatku tidak berdaya. Bukan hanya pesonanya yang mengagumkan, tapi setiap sentuhannya pun mempunyai daya tarik luar biasa yang tidak bisa kutolak. Mas Ray kembali menghujaniku dengan ciuman sampai bibir ini rasanya menebal dan sedikit perih. Priaku ini paling jago membuatku "klepek-klepek". Apalagi, gerakan tangannya yang cekatan dan tak terduga yang tiba-tiba menari-nari di balik bra-ku. Oh, itu bisa membuatku meledak kapan saja. Namun, aku harus menahan serbuan hasratku dan juga hasrat Mas Ray yang menggila. Iva bisa sekonyong-konyong turun dari kamarnya dan menyetop proses dimulainya "cocok tanam" ini.

"Mbak. Mbak Nala!"

Oh, my God! Aku mengerjap lalu kupukul pelan-pelan kepalaku agar memori panas bersama Mas Ray segera rontok dan terhempas. Sudah tiga tahun sejak perceraianku dengan Mas Ray, aku masih saja mengingat momen-momen bergairah yang pernah kami lewati bersama. Enggak bisa move on? Itu masalahnya. Move on tidak semudah membalik telapak tangan, Ferguso!

Aku menghela dan mengembus napas perlahan berusaha mengembalikan konsentrasiku. Faktanya, aku sekarang ada di ruang kerjaku dan di hadapanku sudah ada Teny, staf human capital.

"Kenapa, Mbak?" Teny terdengar mulai kepo dan menurutku itu hal yang wajar. Ia melihatku melamun sembari menopang dagu dengan kedua tangan. Pandanganku tadi mungkin terlihat melompong.

Aku berpura-pura memijat dahiku seperti orang yang sedang menderita migren. "Sakit kepala. Efek kurang tidur kali."

"Mau Teny ambilin obat?"

"Tidak perlu. Sebentar lagi juga sembuh kok. Ada apa, Ten?"

Dari sorot matanya, aku masih melihat kekhawatiran. Dia kemudian berkata dengan irama sedikit ragu. "Beneran Mbak enggak apa-apa?"

"Bener. Swear." Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V untuk meyakinkannya.

"Pak Erik memanggil Mbak."

"Iya. Saya akan segera menemui Pak Erik." Aku menegakkan punggung memperlihatkan kalau aku akan baik-baik saja. "Tuh, kan, udah baikan."

Teny tersenyum lega lalu bangkit dari duduknya. "Kalau gitu, saya kembali ke ruangan saya dulu ya, Mbak."

"Thanks ya, Ten."

Teny tersenyum sambil mengangguk sebelum keluar dari ruanganku. Ramah sekali gadis yang satu ini. Aku segera menemui Pak Erik di ruangannya. Pria yang memiliki gelar SE, M.Ak, CPA di belakang namanya itu telah menanti kehadiranku di sana. Aku sendiri tidak percaya bisa bekerja di KAP ini dengan Pak Erik sebagai bosku. Semua orang tahu penyebab perceraikanku dengan Mas Ray adalah karena adanya tuduhan perselingkuhan antara aku dengan Eros, adiknya Pak Erik. Keberadaanku di sini seakan membenarkan tuduhan tersebut. Namun, aku tidak peduli lagi dengan penilaian orang. Yang menjalani dan tahu hidupku itu aku sendiri. Jika mereka bicara buruk tentangku lantas tidak suka denganku, itu masalah mereka. Aku dan Eros tidak pernah melakukan hal yang dituduhkan Iva. Itu sudah cukup untuk membuatku dan Eros tetap berteman sampai saat ini.

"Jadi, saya yang harus menemuinya, Pak?" Aku berusaha memperjelas keberatanku atas perintah Pak Erik.

"Kamu itu manager in charge. Ya, kamulah yang harus menemuinya. Lagi pula, inilah saatnya kamu membuktikan diri kalau kamu itu tidak hanya cantik, tapi juga cerdas." Pak Erik terus berusaha mendorongku.

Fantastic Mr. ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang