1. Not Perfect 💔

1.7K 229 13
                                    


****


Di suatu malam, di sebuah sudut terindah kota Vancouver.

Sosok bertubuh kurus berparas tampan itu telah lama duduk dalam diam di sebuah bangku cafe sembari menatap view English bay yang cantik di depan sana. Beberapa kali hanya helaan napas yang terdengar. Ia kembali menyeruput kopi yang hampir mendingin di cangkirnya, lalu kembali diam dengan ingatan masa silam yang berkelebat di dalam benak.

Arsa POV

Saat aku masih kecil kupikir kehidupan akan terus berjalan manis hari demi hari. Ada sebuah keluarga utuh, ada ayah ada ibu dan anak-anaknya. Kukira kebahagiaan itu sifatnya abadi. Kukira siraman kasih sayang dari kedua orang tua akan kurasakan sampai aku dewasa bahkan menua.

Hehehe!

Itu semua tidak benar! Sejak aku berumur delapan tahun, cinta itu sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Aku tak tahu lagi yang namanya kebahagiaan dan perasaan dicintai dalam keluarga itu seperti apa rasanya. Saat aku berusia delapan tahun, ayah dan kakak lelakiku membenci diriku dengan sebenci-bencinya.

Aku tumbuh seorang diri dengan perhatian seadanya dari para pelayan. Ayah yang biasa kupanggil Papa berubah drastis demikian juga Arsen, kakakku, satu-satunya saudara kandung yang kupunya juga sudah tak pernah mau tahu lagi tentang keadaanku entah aku hidup atau mati.

Ketika aku masih kecil aku tak begitu mengerti kenapa mereka membenciku? Aku tak tahu kenapa aku dimusuhi dan diusir dari rumah utama?

Aku menangis, aku tidak ingin dipaksa tinggal bersama para pelayan di paviliun belakang. Aku tidak mau dipisahkan dari ayah dan kakakku. Aku tidak mau meninggalkan kamar kesayanganku! Tapi mereka memaksaku bahkan mengancam akan melemparkanku ke lautan jika aku tidak menurut. Aku akhirnya perlahan bisa menerima semua itu beberapa saat kemudian. Aku menerima keadaanku tanpa menemukan alasan kenapa aku dibuang hanya dalam hitungan bulan.
Aku menangis sepanjang waktu karena aku dikucilkan dari lingkungan keluarga yang kupunya. Aku tidak bisa menemukan jawaban atas keadaanku, para pelayan pun tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaanku.

Ayahku masih membiarkanku sekolah tapi aku dipindahkan ke sebuah sekolah yang sangat sederhana. Aku harus berjalan kaki seorang diri ke sekolah, tidak lagi diantar dengan mobil bersama Papa atau pun paman sopir seperti dulu. Kehidupanku berubah drastis dalam sekejap tanpa sebab yang jelas.

Aku menjalani hari-hari yang pahit seorang diri. Sepulang sekolah aku hanya berdiam di dalam kamar sempit yang memang khusus dibuat untuk para pelayan yang bekerja di rumah keluargaku. Waktu dua tahun terlampaui dan aku semakin terbiasa dengan keadaanku. Aku akhirnya tidak pernah lagi mencoba menerobos ke rumah utama dan berakhir dengan pengusiran seperti biasanya. Aku tidak lagi berusaha menemui Papa dan Arsen. Aku tidak lagi bertanya kenapa aku dibuang.

Aku hanya bisa menangis dalam diam di keheningan malam. Aku tidak lagi memiliki fasilitas nyaman di dalam hidupku. Aku ingat sampai usiaku dua belas, aku masih memakai pakaian yang kupunyai sejak terakhir Mama membelikan untukku. Di sekolah tidak ada seorang pun yang mengetahui identitasku sebagai anak dari seorang Aryanata Pratama, salah satu pengusaha sukses di Indonesia.

Siapa yang percaya andai aku berkata jujur?

Putera dari Aryanata Pratama pasti berpenampilan cemerlang seperti Arsen Pratama. Berparas tampan, berkulit bersih dan memakai semua fasilitas mahal, bukan bocah kumal dengan seragam kekecilan dan miskin sepertiku!

Putera keluarga Pratama akan pergi ke sekolah dengan diantar mobil mewah, dengan sopir yang terlihat berwibawa, bukan bocah kurus yang berjalan kaki sejauh tujuh ratus meter dengan sepatu kekecilan yang ujungnya sudah sobek karena dipakai setiap hari!

Maka menceritakan jika aku adalah anak keluarga kaya itu akan terdengar seperti lelucon. Itu sudah pernah terjadi ketika ibu dari teman sekelasku menjemputnya, aku yang ditanya di mana alamat rumahku dan siapa orang tuaku menjawab dengan jujur. Ketika ibu temanku mendengar jawabanku, hal pertama yang ia lakukan adalah menatapku dengan lekat dari kepala sampai ujung kaki lalu tertawa terbahak-bahak. Wanita itu mengatakan jika aku terlalu banyak berkhayal. Ketika aku bersikeras dengan ucapanku, ia melarang anaknya untuk berteman denganku karena menurutnya aku adalah seorang pembohong dan tukang halu.

Sejak saat itu aku mengerti satu hal, berkata jujur tentang siapa orang tuaku bukanlah hal yang baik. Lalu sejak saat itu aku menjalani hidup dalam kebohongan. Ya, aku terpaksa berbohong jika orang tuaku sudah tidak ada dan aku hanya tinggal menumpang dengan kerabat, seperti yang Papa lakukan padaku, meminta Bibi Zaida, kepala pelayan di rumahnya menjadi waliku karena orang tuaku berada di luar kota.

Ayahku masih membiayai sekolahku, setamat SD aku melanjutkan sekolah ke sebuah SMP, kualitasnya masih sama seperti SDku. Meski bukan sekolah swasta bertaraf internasional seperti dulu tapi aku bersyukur karena masih bisa bersekolah meski ayahku membenciku.

Di tahun kelima setelah kematian Mama, aku melihat kehadiran seorang anak remaja seusiaku di rumah utama. Aku sedang menyapu halaman samping ketika mobil mewah milik ayahku memasuki halaman. Ayahku keluar bersama seorang wanita cantik dan anak lelaki seumuran diriku, setelah dewasa baru aku tahu jika ia berusia setahun lebih tua dariku.

Aku ingat mengintip kedatangan mereka dari bawah sebatang pohon di taman. Aku melihat Papa mengusap lembut kepala anak itu dan tersenyum padanya. Terakhir Papa tersenyum padaku adalah ketika aku menunjukkan hasil menggambarku mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Sejak dua tahun setelah terakhir itu Papa bahkan tak mau menatap wajahku lagi. Tapi aku melihat Papa tersenyum padanya dan mengusap kepalanya. Dadaku bergemuruh, terasa panas dan sesak. Sebenarnya siapa dia?

Beberapa hari setelahnya Bibi Zaida memberitahuku jika anak itu adalah anak tiri Papa. Papa rupanya telah menikah lagi dengan seorang wanita yang kemudian kutahu adalah teman mendiang Mama. Sekarang wanita itu telah menjadi istri dari Papa dan nyonya baru di dalam keluarga Pratama.

Ya, ibuku atau yang biasa kupanggil Mama nyatanya memang telah meninggal saat aku berusia delapan tahun. Aku ingat saat itu Mama tidak menghadiri perlombaan menggambarku dan ketika lomba berakhir aku hanya mendapati Bibi Zaida yang memberitahuku jika Mama mengalami kecelakaan. Maka ketika mengetahui jika Papa menikah lagi, aku pergi ke makam Mama dan menangis di sana. Mengadu jika Papa sudah tidak mencintai kami lagi. Aku melepaskan semua keluh kesahku selama ini, menangis sampai tertidur di pusara Mama, seakan Mama masih ada dan sedang memeluk diriku. Ya, hanya dengan begitu aku merasa jika masih ada orang yang mencintaiku.



TBC


Kalteng_14 September 2022

Love

❤️ Treseluf4ntasy ❤️








Wife MaterialМесто, где живут истории. Откройте их для себя