PERMULAAN

65 24 34
                                    

Disclaimer : Cerita ini merupakan base on true story, tapi sudah di campur dengan bumbu-bumbu, jadi tidak benar-benar sama persis dengan kejadian, sudah ada tambahan dan pengurangan, karena pengirim sudah benar-benar lupa beberapa kejadian karena mengalami pukulan yang cukup pilu.

Hai,  aku Violin gadis kecil yang mungkin menjadi harapan untuk kedua orang tuaku, tapi rasanya hidup ini bagai ada di dalam neraka dunia bersama dengan kaka ku. Aku masih di bawah tujuh belas tahun saat itu, aku menulis hanya untuk memberi semangat kepada banyak orang melalui ceritaku. memang hidup kata orang tidak adil,  tapi untukku hidup itu sangat adil. Terkadang kita dibiarkan sakit dan menderita hanya untuk melatih dan mempersiapkan kita jadi manusia yang luar biasa. Aku tidak pernah menyangka semua akan semengerikan itu,  bahkan aku seberani itu bertindak. Semua dimulai di malam hari, ketika emosi di ruangan itu meledak.

Kugenggam erat pisau mengarah ke urat nadi di tanganku. Air mata menetes perlahan mengenai lantai rumah, sepasang bola mata bergeliat menyusuri setiap sudut ruangan. Perasaan miris sekaligus benci bersatu, ruang tamu terlihat begitu berantakan, sofa jungkir balik, banyak buku berserakan, beberapa gelas dan piring tergeletak di sembarang tempat.

“Ya Tuhan apa yang sedang aku lakukan ini ?” besit ku dalam hati, masih dengan posisi berdiri, melihat ke arah bapak tiri yang biasa ku panggil dengan sebutan imitasi.

Dia pantas dengan sebutan imitasi, karena bagiku dia adalah seorang yang palsu.

"Kau ingin dihormati, tetapi cara menghormat pun tak pernah kau ajarkan," pekikku di iringi tangis yang bermula hanya air keluar dari mata, menjadi emosi tidak terkendali.

"Kau ingin dipanggil bapak, namun apa yang bisa kau berikan padaku ? Bukankah ibu ku yang mencari nafkah ? Bukankah ibu ku yang memberikan mulutku makan ? Bukankah ibu ku yang memberi semua ? Lalu apa gunamu sebagai bapak ?" tantangku kencang, dengan nada meninggi.

"Aaahhhh..... Dasar anak kurang ajar !!!!!!!" balasanya dengan suara yang makin meninggi, sembari mengambil posisi duduk, sepertinya hendak melakukan sesuatu. Dan benar saja, ia mulai melakukan hal gila lagi. Kemudian bapak imitasi menjedotkan kepalanya ke tembok dengan keras.

Dug, dug, dug...

Bunyi nyaring yang terdengar dari tembok.

"Bodoh!!! Bodoh!!! Bodoh!!!  Kenapa Tuhan aku punya anak kurang ajar seperti dia," ujurnya dengan suara yang lantang, dia merasa teramat kesal dan hancur, sambil mengetuk kembali kepalanya ke tembok.

Akupun mulai menggoreskan pisau ke pergelangan tangan, aku menatap besi tajam yang sebentar lagi melukai diriku sendiri.

"Hentikan !!!!" teriak seorang perempuan berparas cantik, yang umurnya tidak begitu beda jauh dari ku. Postur badan yang tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter, matanya tidak secoklat ibu, kulit kaka agak gelap dan rambutnya terurai sampai ke pundak.

"Bodoh sekali sih kamu, kau mau mati begitu saja ?" ucapnya dengan penuh keyakinan, bahwa belum saatnya untuk mati.

"Hanya karena dia ? Sungguh bodoh kau !" perempuan itu membuatku tersadar, bahwa aku masih punya tujuan untuk hidup, kaka ku dan juga ibu.

"VIOLIN !!!!!!" Teriak bapak imitasi dengan kencang.

"Aku ini kan menyusahkan bapak, kenapa aku tidak mati saja agar tidak menyusahkan !!" Pekikku berteriak sekencang mungkin.

"Aku tidak kuat, melihat ibu dan kaka ku menangis, karena hanya mereka yang aku punya di dunia ini,” teriak ku kencang, seakan memecahkan ruang tamu. Tempat dimana semua kejadian ini terjadi.

"Kau hanyalah orang asing yang pernah ku lihat." Lanjutku, menatapnya serius.

Aarrgghh......

Erangnya kuat, sambil membanting meja kayu di hadapannya sampai hancur berlebur. Sampai tidak berbentuk lagi. Aku masih berdiri sambil melihat miris bapak, ku kira dia akan diam, dan membujukku untuk meletakkan pisau ini, ternyata dia makin marah. Tiba-tiba sosok yang terasa begitu hangat mendekat, dia memeluk tubuhku perlahan, aku terdiam menerima energi positif tersebut, dia seperti menunjukkan rasa pedulinya.

Ayah Malaikat bukan IblisWhere stories live. Discover now