KENANGAN

38 23 25
                                    

Ku buka sebuah lipatan, terlihat kertas kecil, namun lipatan foto itu terlihat begitu usang, dan sudah sangat lama.

Tepatnya di foto itu tertulis sebuah angka dan nisan, RAYHAND RIP: 27-05-2003, tanggal lahirnya 26-02-1970.

Ya itu adalah satu-satunya benda yang kumiliki yang berbau, ayahku. Ku pandangi perlahan foto itu dengan rasa sangat miris hati, perlahan air mataku jatuh mengenai foto,

besik ku didalam hati " Ayah, kau dimana?

Aku takut? Lihat dia ayah, dia siapa?

Apakah ayah tau dia sangat kejam padaku, pada kakak, dan pada ibu. Ayah marahi dia, tegur dia, suruh agar dia tidak terus menyiksa kami. Ayah kenapa kau pergi secepat itu?

Kenapa kau tinggalkan aku?

Aku belum saja melihatmu !

Aku belum memelukmu!

aku bahkan tidak tahu ayahku seperti apa? Tuhan kenapa mengambilnya?

Kenapa Tuhan setega ini?

Ayah aku ingin, seperti anak kecil yang kulihat di jalanan, bercanda di tengah hujan deras, aku ingin bercanda bersama ayah, aku mau kepalaku diusap-usap oleh ayah.

Aku ingin ada seorang ayah yang bertanya kepadaku, apakah aku sudah makan?

Atau apakah nilai ku menurun atau naik?

Tapi tidak ada, kenyataannya ayahku tidak ada." Aku terus menangis dengan sangat keras, tanpa henti.

BBBRUUKKK...

bunyi pintu kamar terbanting, begitu keras membuyarkan lamunanku tentang ayah "Ohh jadi kau menangis disini!!!" Tegur bapak dengan begitu keras.

Bapak pun menarik tangan ku, dengan keras dan menjatuhkanku, begitu saja.

Kemudian bapak, mengambil kursi kayu, dan membantingnya tepat di pundakku, keras sekali bantinggan itu sampai membuat aku ambruk. Dan membuat sedikit luka di kepalaku, ibu yang melihat kejadian itu pun langsung berteriak kuat.

"AAAAA!!!! Apa kau nggak  punya otak !!!" teriak ibu begitu geram, sambil menuju arahku.

"Apa? nggak punya otak? Teruslah membela anak mu yang sudah jelas salah itu," balas bapak dengan begitu geram, nampaknya urat marahnya sudah meledak, sehingga tidak dapat di kendalikannya lagi perasaannya itu. 

Sedangkan aku yang merasakan bantingan kursi itu pun berusaha bangkit mengambil foto kuburan ayah.

Karna hanya itu satu-satunya benda agar aku bisa melihat ayah, walaupun hanya nisannya. Ku gengam erat foto itu, tidak ku perdulikan seberapa sakit kursi kayu itu menggenai tubuhku.

lalu kakaku datang menghampiri dan berkata "kau tidak apa-apa adik ku ?" ucapnya dengan rasa begitu panik ia menyentuhku.

"Aku baik-baik saja ka, yang terpenting adalah, foto ayah kita," balasku lalu aku tersenyum puas. Tampa sadar kaka ku berdiri dan melawan bapak,

"Enggak nyangka, orang tua umur sudah dewasa, anak sudah punya, tapi kelakuan kaya anak-anak. Malu-maluin banget ya, inginya di panggil bapak. inginnya di hormati, inginya di hargai, menghargai orang aja enggak bisa, kalau anda hendak di hargai sebagai bapak !

Anda hendak dihormati !

Cara menghormat pun tidak pernah kau ajarkan, Mana tanggung jawab sebagai bapak ? mencari nafkah saja anda tidak. Taunya cuman memerintah dan ngomong doang, bukankah anda bilang bicara sama perbuatan harus seimbang, mana buktinya ? Setiap harinya kau hanya marah-marah, hanya bisa menuntut, bangun pun kau jam sembilan keatas, kau saja tidak tahu anakmu sekolah atau tidak, yang saya lihat di luaran sana seorang bapak yang memberikan uang kepada ibu. Di rumah ini aneh justru terbalik, justru bapak yang minta uang kepada ibu, dan ibu yang memberi uang pada bapak, mana tanggung jawabmu sebagai bapak disini?

Ayah Malaikat bukan IblisWhere stories live. Discover now