Hujan Sore Ini

6 2 0
                                    

Jakarta, 06 Januari 2010

“Alana!”

Aku melihat Alana menghentikan langkahnya, Alana memutar badannya dan bercengkrama dengan sosok yang memanggilnya tadi. Aku semakin mempercepat langkahku guna mendengar percakapan mereka. 

“Hari ini kita bagi kelas, bukan?” Begitu yang aku dengar. Kemudian aku melihat Alana menganggukkan kepalanya dan ia bergumam kalau mungkin mereka tidak akan sekelas lagi. Aku memacu kakiku agar cepat mendahului mereka. Lalu aku menghampiri teman sekelasku.

Aku menepuk pundak temanku dan memilih barisan di belakang, agar aku bisa dengan mudah melihat aktivitas yang Alana lakukan. Alana terlihat menghampiri temannya dan kenapa dia memilih barisan yang sama denganku. Aku tercengang dengan hal itu.

Aku menoleh ke Alana yang sedang mengoceh dengan teman-temannya. Alana sangat lucu, ia mengerucutkan bibirnya. Aku sangat hapal, Alana pasti bosan menunggu pengumuman yang sangat tidak penting ini.  Sangking fokusnya aku saat melihat Alana, aku kaget.

Tatapanku bertemu dengan tatapannya. Ia kelihatan juga tertegun saat melihatku. Gawat, aku ketahuan saat melihatnya. Senyumku langsung tercetak secara otomatis dan perlahan hilang tepat pas Alana membuang muka.

“Oy, Vid! Senyum sama siapa sih?”

Aku berdeham, “Gak ada, Wan. Tadi lihat kawan kita yang telat.” Begitu elakku saat ditanya oleh Iwan.

“Oh, kukira kamu udah nemu mangsa baru,” goda Iwan padaku.

***

Seusai pembagian kelas tadi, aku sesekali mencuri pandang ke Alana yang sedari tadi hanya menatap lurus jendela di samping kananku. Dia kenapa? Apa ada hal yang mengganggunya? Ucapku di dalam hati.

Sebenarnya aku sudah lama mengenal Alana, ia teman masa kecilku. Kami menghabiskan banyak waktu berdua.

Akan tetapi, semenjak masuk sekolah. Alana menjauhiku dan memilih berteman dengan perempuan sebayanya. Aku sakit hati akan perlakuannya tetapi aku tidak bisa berbuat banyak.

“Vid, gak mau pulang?” Rahmat menegurku dan membuatku terpaksa harus menghentikan lamunanku.

Aku mengedikkan bahu. “Maksudnya?” tanyaku pada Rahmat.

“Guru rapat, udah sana pulang. Lagian, betah amat diam di sini,” ejek Rahmat padaku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah Alana, Ia hanya berjarak empat kursi dari tempatku. Aku bisa dengan mudah melihat aktivitas yang Alana lakukan. Teman Alana menanyainya suatu hal yang bisa aku lihat dari sini kalau Alana menggeleng dan cepat membereskan barangnya.

“Mesti buru-buru nih ke taman, sebelum hujan turun. Mana langit udah mendukung banget,” gerutuku sambil berlari ke taman kota.

Aku ada agenda hari ini, harus memotret hal yang menarik. Namun, netraku membulat. Lensaku menangkap sosok yang sangat kukenal, dan sosok itu duduk mendongak ke langit sedang berkabung. Tidak ada langit biru cerah, tertutupi awan abu-abu yang pekat. Seakan mengusir kami dari tempat itu. “Kenapa dia di sini?” imbuhku pelan.

Aku tidak tahu, ia mengingat tempat ini atau tidak. Tetapi semenjak kami berpisah, aku sering menyempatkan waktu untuk datang ke sini. Ini tempat kami pertama bertemu dan berkenalan serta memulai hubungan pertemanan di masa kecil kami. Kemudian, semuanya sirna seketika. 

Aku berjalan meninggalkan Alana, aku harus pulang. Kalau tidak, Ibu akan mengamuk padaku.

***


“Ibu gak mau tau, Lan! Pokoknya kamu harus lakuin hal itu. Kalo gak, kamu akan dapat perlakuan yang tidak menyenangkan.”

Aku tersentak saat mendengar ucapan tersebut. Mencoba mendekati suara itu, aku terperanjat ketika tahu kalau yang ada di sana yaitu Alana dan Ibu Resti. “Sebenernya ada apa ini?” Aku bertanya-tanya.

“Kamu udah ngerasain kan? Semua orang menjauhi kamu. Itu sebagai percobaan jikalau kamu tidak mau menuruti kehendak Ibu!”

Aku menggeleng, Alana yang malang. Ia hanya bisa mengangguk bingung saat itu. Sejujurnya aku tau Alana tertekan, tetapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku pun tidak ada kuasa untuk menghentikannya.

Setelah kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihat Alana bersama teman-temannya. Alana juga terlihat sering sendiri di pojokan kelas dan duduk di bawah mejanya. Aku ingin menghampirinya tetapi sungguh, aku harus menekan diriku sendiri. Aku hanya bisa mengawasinya dari jauh.

Tak terasa waktu pelaksanaan ujian nasional dilakukan, aku mengerjakannya dengan sangat fokus dan berhati-hati. Kami menjadi kelinci percobaan untuk pemerintah, di tahun kami ada dua puluh paket soal dan lembar jawaban yang lebih tipis dari sebelumnya. Aku menghela napas berat. Ini hari yang sangat melelahkan.

Aku melangkah keluar kelas dengan perasaan lega. Ujian telah aku kerjakan dengan sangat baik. Namun, aku dikejutkan dengan teriakan anak kelas yang memanggil Ibu Resti dengan tidak sabaran, disertai Ibu Resti yang berjalan dengan terburu-buru ke kelas tempat Alana ujian.

Aku dapat melihat Alana di tempat lain, hanya memandangi mereka dengan tatapan datar. Bisa kutebak, Alana tidak melakukan hal yang disuruh oleh Ibu Resti. Selepas Ibu Resti masuk ke kelas, Alana berjalan menjauhi mereka.
Aku tidak pernah lagi bertemu Alana setelah kejadian itu, ia menghilang bagai ditelan bumi.

Alana meninggalkan semua kenangan buruk yang ia dapatkan selama di sini. Aku sungguh jahat, aku menyalahkan Alana yang pergi tanpa kabar sedikit pun. Sama seperti Alana, aku menjadi lebih pendiam dibanding sebelumnya.

Kehilangan cinta, sungguh menyakitkan.

Rinai Where stories live. Discover now