1. PROLOG & CAST

279 43 2
                                    

"Liatinnya biasa aja!" Ucap seorang lelaki yang kini mendekat ke arahku, menggosok-gosok rambutnya yang basah masih dengan tubuhnya yang bertelanjang dada.

Dia Aljabar, suamiku.

Lelaki yang menikahiku karena sebuah keterpaksaan.

Entahlah, apa hal tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah keterpaksaan jika Aljabar sendiri jelas-jelas sudah menyetujuinya sejak awal. Hanya saja, apa yang terjadi selepas pernikahan, semua tak sejalan dengan apa yang aku bayangkan.

"Ini apa?" ucapku sembari menunjukkan benda laknat yang membuatku hampir gila.

Beberapa hari lalu Aljabar ada kegiatan touring dengan komunitas motor kegemarannya. Dan seharusnya dia sudah pulang kemarin malam. Aku tak ingin banyak berspekulasi. Mungkin saja ada sesuatu yang membuatnya harus pulang terlambat.
Semalaman terjaga, tanpa mampu memejamkan mata barang sebentar. Sampai lingkaran bawah mata ini kembali menghitam. Nama perempuan itu masih jadi bayang-bayang meski sudah kucoba untuk melupakannya. Feeling ku tidak enak saat melihat Aljabar pulang pagi ini sehabis dirinya touring.

Kepulangannya ku sambut dengan senyum meski gejolak di hatiku terasa membakar.

Aku sudah mati-matian mencoba memupuk harga diriku, harga diri yang tak pernah lagi kumiliki semenjak aku menikah dengan Aljabar. Harga diri yang selalu ia gunakan sebagai alas kaki.

Demi Pluto yang sudah dihapus dari kategori planet, aku membencinya. Membencinya dengan semua sisa cinta yang masih melekat dalam diriku. Aku tidak akan memaafkannya jika feeling ku tentang Kinan adalah benar.

Sudah cukup. Hatiku terlalu sakit untuk terus diludahi dengan penghinaan dan pengkhianatannya.

"I ... itu dari mana?" tanya Aljabar gugup. Menunjuk sebuah celana dalam merah jambu yang sudah jelas bukan miliknya tapi kenapa bisa-bisanya ada di dalam tas ransel yang dibawanya saat touring?

Ketika dia mandi tadi, dan aku membuka tas ranselnya, aku menemukan benda menjijikan itu di dalamnya.

Seperti bom atom yang meledakkan kota Hiroshima, aku juga merasakan ledakan yang dahsyat dalam diriku. Sakit yang begitu hebat.

"Udah dipakai?" serangku tajam.

"Apanya?" Tanya Aljabar dengan wajahnya yang seperti orang tolol.

"Isinya!" jawabku penuh dengan penekanan. Aku mendelik dan mendekat padanya, jarak wajah kami kurang dari sejengkal sampai aroma napasnya tercium jelas menyapa indra penciumanku. "Ceraikan aku!" ucapku mantap.

Aljabar mengalihkan pandangannya. "Nggak, kamu akan tetap berada di sisiku sampai kapan pun," ucapnya tak mau kalah.

"Bertahan di sisi kamu untuk terus kamu sakitin? Aku udah nggak sanggup lagi, Al. Kalo emang nggak ada satu pun di antara kita yang bahagia atas pernikahan ini, tolong lepaskan aku. Mungkin cara bikin kita bahagia yang Tuhan gariskan bukan dengan kita sama-sama. Mungkin dengan dia kamu bakal bisa lebih bahagia." Tuturku menumpahkan amarah disertai kekecewaan yang teramat sangat.

"Kamu juga ada main sama Lexi, dan aku ragu anak itu anak aku. Kita impas, Atama Lovenia," sambung Aljabar menunjuk ke arah perutku yang membuncit. Ia tersenyum merendahkan kemudian kembali berujar," kamu nggak akan pernah ninggalin aku, Ata. Kamu itu cinta mati sama aku."

"Lalu kenapa kamu masih meragukan tubuhku untuk siapa? Bukankah kamu bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu?" Ucapku dengan ledakan amarah yang menjadi-jadi.

Aljabar tertawa mengejek. "Jangan munafik, Atama. Kamu tahu bahwa bagi sebagian orang s*ks bukan perkara tabu. Bukan tentang perasaan. Melainkan tentang kepuasan!" Jelasnya dengan sorot mata penuh konfrontasi.

KUUBAH IDENTITAS DEMI DENDAM PADA SUAMIKU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang