Kemarahan Ku, Kemarahan Jansen Lu

642 162 15
                                    

Aluna tertawa geli, jangan lupakan ekspresi Jansen Lu yang mematung dan kedua matanya seakan telah di bekukan oleh es.

"Ish, dia lucu sekali. Seakan tidak pernah di cium wanita, tapi aku, Yunzi. Aih,"

Yunzi berdecak, sebagai seorang Jenderal besar, mana mungkin dia memikirkan cinta-cintaan, yang ada malah strategi perang.

"Apa yang aku pikirkan? Is, bibir ku."

Yunzi berjalan ke arah kamar mandi, dia membersihkan bibirnya. Seumur hidup dia tidak pernah menyentuh bibir siapa pun. Sekalipun banyak orang yang menyukainya dan melamarnya.

"Bibir ku sudah bersih dan besok waktunya aku kuliah," ucap Yunzi, yang di sapa Aluna. Sekalipun dia berpindah tubuh, tapi ia tidak menyesali. Tubuh Aluna tak kalah cantik, bahkan sexy. Dia suka dengan kelangsingan tubuh ini. Hanya saja, Aluna yang dulu tidak pernah memperhatikan penampilannya.

"Waktunya berubah, buatlah semua orang tercengang pada mu."

Aluna tersenyum menyeringai, dia pun berlanjut ke arah ranjang berukuran king size itu, yang akan menikmati alam mimpinya.

***

Di sebuah ruangan temaram, seorang pria sejak beberapa jam yang lalu, kedua matanya tidak bisa di pejamkan. Kepalanya terasa di penuhi oleh ciuman tadi. Hanya sekarang dan saat ini dia merasa jantungnya berdebar dan sesuatu yang di dalam tubuhnya, entahlah dia tidak pernah merasakannya.

"Sial! Kenapa jantung ku? Apa perlu aku periksa ke tempat lain?"

Jansen Lu menekan dadanya yang berdebar-debar, ia pikir malam ini tidak bisa tidur dengan tenang. Karena hati yang tidak karuan, dia pun memilih melanjutkan pekerjaannya, entahlah. Padahal pekerjaan telah usai.

Drt

"Hallo," sapa Jansen Lu dengan suara yang begitu menusuk sampai ke tulang. Siapa saja yang mendengarkan suaranya, pasti akan menggigil ketakutan.

"Saya sudah membereskannya, berani sekali dia mengacau di Klub milik Tuan,"

Selain memiliki Perusahaan, Mall, Restaurant, dia juga memiliki beberapa Klub.

"Oh, baguslah. Besok antarkan aku ke Dokter," ucapnya.

"Hah?" Asisten yang berada seberang sana seakan menjatuhkan rahangnya. Seumur hidup tuannya tidak akan pernah meminta ke Dokter, ketika luka pun dia lah yang harua banting bujukan.

"Apa Tuan sakit?"

"Tidak perlu tahu?"

Jansen Lu menutup ponselnya, lalu meletakkan di sampingnya. Dia menyandarkan tubuhnya, kedua tangannya menyilang sebagai bantalan kepalanya, sedangkan kedua kakinya berselonjar dan menyilang di atas meja.

***
Sarapan yang begitu sempurna, roti, sandwich, susu dan jus, serta berbagai macam buah, termasuk pisang, apel, anggur dan beberapa buah yang telah di potong.

"Honey, kau kenapa?" Tanya Monica. Dia melihat mata itu terlihat lelah, ada lingkaran hitam di matanya.

"Tidak ada, aku tidak apa. Hanya lelah masalah pekerjaan."

"Begitu ya,"

Seorang pelayan pun menaruh roti dan sandwich di piring itu. Sudah kewajiban mereka menaruh sandwich dan roti, susu serta jus. Sang majikan tinggal memilih, mana yang lebih di inginkan.

"Honey, nanti aku mau keluar." Seperti biasa, dia akan keluar ketika Jansen pergi dan akan mengekorinya.

Wanita di samping Jansen Lu itu menatap sekilas. Seperti biasa, dia akan memilih diam. Karena tidak bisa melawannya.

"Baiklah, kau mau beli sesuatu?" Tanya Jansen Lu.

"Aku mau beli perhiasan, seperti biasa."

"Baiklah,"

Jansen Lu melirik wanita di sampingnya. "Kau butuh sesuatu?" Tanya Jansen Lu datar.

Dia Liera, wanita yang dia jadikan istri keduanya. Istri pertamanya memintanya untuk menikahinya karena tahu wanita di depannya menyukainya dan ternyata benar, dia mau menjadi istri kedua untuk melahirkan anak. Tapi sampai saat ini, dia belum menyentuhnya, layaknya sebagai suami istri.

"Kau butuh sesuatu?"

"Tidak, aku akan pulang malam."

"Oh,"

Liera meremas celana hitamnya, yang melekat pas di kedua kakinya. Seperti ini sudah biasanya baginya, tidak pernah sedikit pun Jansen Lu menaruh perhatian padanya. Tapi selama ini ia bertahan dan yakin, pria itu akan mencintainya.

Srett

Jansen Lu menatap wanita di depannya, tepat berada di samping istri hanya satu kursi berwarna putih yang memisahkan jarak mereka. Kedua matanya membulat melihat penampilan gadis itu. Entahlah, dia bingung mengatakan dia wanita atau seorang gadis, wanita sudah menikah dan gadis belum menikah, tapi sudah menikah dan belum ia jamah sedikit pun. Kecuali ..

Dia diam, wajahnya langsung panas dan jantungnya berdebar-debar.

"Honey kau kenapa?" Tanya Monica, semesra mungkin.

"Hah!"

"Aku tunggu di luar," ucap Jansen berlalu pergi, membuat kedua wanita itu keheranan.

Jansen melirik Aluna, seolah kejadian tadi malam tidak membuat wanita itu ketar-ketir.

"Tidak perlu," ucap Aluna saat seorang pelayan ingin menaruh sandwich di depannya. Dia ingin melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

"Keluarga Lu harus bisa di layani oleh pelayan." Tegur Monica. Dia mendekik tajam, keluarga Lu adalah keluarga yang di hormati.

"Selama aku bisa, aku akan melakukannya, karena aku takut di beri tangan dua, tapi tidak di gunakan, alhasil di potong."

"Apa maksud mu?"

"Tuhan akan marah kalau kita tidak mensyukurinya." Aluna tersenyum sinis. Dia melahap roti yang ia olesi sendiri dengan kejunya.

"Kemarahan ku adalah kemarahan Jansen."

Monica tidak suka pada Aluna yang sangat belagu baginya.

"Benarkah? Aku sudah biasa, bahkan kemarahan peperangan pun aku sudah biasa."

Monica dan Liera sama-sama mengernyitkan keningnya. Dia tidak mengerti apa yang di maksud perkataan Aluna.

"Hanya gadis penakut, bahkan ketika ayah mu sendiri harus memohon pada Jansen, kalau bukan karena Jansen berbaik hati, aku pastikan Ayah mu akan mendekam di penjara."

"Kau yakin akan menyerahkan Jansen pada ku dan Liera? lalu melahirkan anak, bagaimana kalau Jansen tergelak? Ah,"

Aluna mendesah pelan, seolah merenungkan nasibnya. "Bagaimana kalau hatinya bergerak dan tidak bisa melepaskan salah satu dari kami?"

Seketika emosi Monica melunjak, dia bangkit dan hendak menarik rambut Aluna. Namun dengan sigap, Aluna menahan tangannya dan mencengkramnya dengan erat.

"Jangan pernah menyentuh ku."

Deg

Perasaan Monica mulai ketakutan. Dia bahkan melihat kobaran api di mata Aluna, tidak pernah ia merasakan perasaan pias seperti ini. Bulu kuduknya pun merinding.

Reinkarnasi Selir Ketiga Sang Presdir (Fizzo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang