bab lima. dansa?

134 14 5
                                    

Tema: Bebas

☆☆☆☆☆

Alunan musik klasik memenuhi ballroom, diiring tapak kaki setiap pedansa yang menikmati lagu dan menari mengikuti irama. Lain hal dengan Anya yang berdiri di pojok ruangan, memegang gelas jus jeruk dan memerhatikan orang-orang. Ia mengenakan dress berbentuk a-line selutut berwarna merah muda--selaras dengan mahkota gulali miliknya. Gaun off-shoulder itu menampakkan garis tulang leher juga kulitnya yang mulus, agak membuatnya tidak nyaman karena terlalu terbuka. Sepatu putih-bening mengkilap dengan hak sekitar lima senti juga tidak begitu nyaman. Beberapa pasang mata menatapnya, entah karena kagum atau "terlihat aneh". Rasanya ingin sekali pergi dari ruangan ini.

"Oh, lihatlah, ada seseorang yang tidak mendapat pasangan," ejek seseorang. Mendengar itu membuat Anya menoleh, mendapati bungsu Desmond berdiri di hadapannya sembari tersenyum remeh. Lelaki itu terlihat tampan dengan setelan tuxedo serba hitam, tetapi jasnya ia sampirkan ke bahu. Senyum yang tertampil di wajah Damian benar-benar membuat gadis gulali tersebut kesal.

"Kata siapa? Aku lagi nunggu orang, tuh." Anya menjawab, tak mau kalah, walau sebenarnya bohong. Dia tak menunggu siapapun, temannya juga tidak menghadiri pesta karena tidak enak badan. Ia mendatangi tempat ini ya ... untuk menunaikan misi ayahnya.

"Memangnya kalau orang itu datang, dia mau berdansa denganmu?"

Damian sebenarnya agak tidak terima saat lawan bicaranya mengatakan bahwa dia sedang menunggu seseorang. Dia tidak suka, tetapi menutupinya. Tidak ada yang boleh mengajak sang gadis berdansa selain dirinya dan hal itu sudah mutlak (diputuskan sepihak oleh dirinya sendiri).

"Sy-on mau berdansa denganku?"

"Hah?"

Tawaran itu menciptakan respon terkejut juga tak percaya. Meski niat Damian ingin mengisengi sang gadis, tak disangka ia malah mendapat tawaran untuk menikmati musik berdua. Meski sebenarnya Anya memang berniat mengajak karena ia sudah menanti kehadiran Damian demi misi ayahnya. Ia ingin melihat gerak-gerik lelaki itu saat berada di pesta, spontan saja ajakan berdansa terlontar dari mulutnya. Dia tak bisa menarik kata-katanya lagi, Anya juga siap pasang badan jika berujung pada "ejekan Damian".

Jelas pertanyaan (atau ajakan) itu membuat Damian tersentak, sejenak larut dalam pikiran juga mulai kalut karena mengartikan ucapan sang gadis tengah menunggunya datang ... dan mengajaknya berdansa? Memikirkannya membuat decihan tercipta, memalingkan wajah--enggan menatap Anya.

"S-Siapa juga yang mau berdansa denganmu!" ucapnya. Kata-katanya terdengar kesal, tetapi percayalah, bahasa tubuh tak dapat bohong. Telinga Damian sudah memanas bahkan terlihat memerah setelah sadar akan ucapan Anya.

"Ya, sih. Aku tidak bisa berdansa, kau juga tak mungkin menerima ajakanku." Anya membalas, tidak peka dengan reaksi Damian yang kentara. Dia melihat lawan bicaranya kikuk, tetapi dia tidak sadar kalau lelaki itu malu-malu.

"A-Aku tidak bilang akan menolakmu!"

Anya mengernyit. "Jadi, kau mau atau tidak?"

Luntur sudah harga diri Damian karena diajak berdansa oleh seorang perempuan. Bukankah harusnya dia yang mengajak? Terlebih dia juga terlalu malu untuk mengungkapkan bahwa ia ingin berdansa bersama gadis itu. Dia mulai mengontrol diri ketika Anya bertanya padanya, memastikannya, terlihat kesal. Namun, kalau terlalu lama menahan diri bisa-bisa dia kehilangan kesempatan!

Damia mengulurkan tangannya, tetapi tak menoleh pada Anya. "Cepat."

"Oh? Kau mau berdansa denganku?"

"Iya, cepat!"

"Kalau maksa kayak gitu aku gak mau, ah." Anya berucap ketus, menampilkan senyum iseng--yang menurut Damian-- menyebalkan.

"Loh?" Perempatan muncul di dahi Damian--tampak sedang dipermainkan. Ia menurunkan tangan, membuang muka tak acuh pada lawan bicaranya. "Ya sudah, aku cari yang lain. Perempuan di tempat ini bukan cuma kau."

Memang tingkahnya seperti perempuan, meninggalkan Anya dalam kebingungan. Padahal Damian yang mengejek, marah-marah, lalu tiba-tiba dia pergi dan menggantungnya. Ia melihat Damian bergerak meninggalkannya, menyadari itu membuatnya cepat menarik jas Damian . Namun, rasa nyeri mulai merambat pada kaki membuatnya berhenti dan melepas genggamnya dari baju Damian. Ia menggerakkan kakinya, melihat kemerahan pada kaki membuatnya meringis. Anya ingin melepas alas kakinya, tetapi seorang lelaki menghalau dan berjongkok di hadapan. Siapa lagi kalau bukan Damian?

"Apa yang mau kau lakukan?"

Damian tak berbicara, memegang sepatu yang dikenakan Anya dan melepaskannya perlahan. Mau tak mau gadis itu meletakkan tangannya di bahu Damian guna menjaga keseimbangan lalu satu alas kaki lainnya pun dilepas sang lelaki. Iris hazel dan zamrud bertemu, tetapi pemilik mata secokelat emas itu terlihat kesal saat menatap Anya.

"Kau gak duduk daritadi?"

Anya menggaruk pipi, mengingat-ingat kembali apa saja yang dilakukannya. "Duduk, kok. Sebelumnya aku jalan-jalan terus berdiri ... agak lama, sih."

Decakan lolos dari bibir Damian. Ia berdiri, memberikan sepatu bening pada Anya, melepas jas dan menyampirkannya ke bahu sang dara lalu menggendongnya ala pengantin tanpa aba-aba. Perlakuan sang lelaki membuat Anya terkejut, terlebih ketika dia sadar bahwa tubuhnya telah dibopong oleh Damian.

"Kau gak bisa jalan 'kan?" Damian bertanya. "Aku akan membantumu."

"Eh? Kenapa Sy-on mau membantuku?"

"Y-Ya, suka-suka aku, lah!" responnya, diiring telinga yang memerah. "Gak usah protes!"

"Oh?"

"B-Berhenti menatapku seperti itu!"

l'amour de ma vie || damianya [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang